Entri Populer

Minggu, 22 Mei 2011

makalah luka bakar

BAB I
PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain . Biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannnya. Penyebab luka bakar selain karena api ( secara langsung ataupun tidak langsung ), juga karena pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api ( misalnya tersiram panas ) banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. ( Sjamsuhidajat, 2005 )
Dengan memperhatikan prinsip- prinsip dasar resusitasi pada trauma dan penerapannya pada saat yang tepat diharapkan akan dapat menurunkan sekecil mungkin angka- angka tersebut diatas. Prinsip- prinsip dasar tersebut meliputi kewaspadaan akan terjadinya gangguan jalan nafas pada penderita yang mengalami trauma inhalasi, mempertahankan hemodinamik dalam batas normal dengan resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati penyulit- penyulit yang mungkin terjadi akibat trauma listrik, misalnya rabdomiolisis dan disritmia jantung. Mengendalikan suhu tubuh dan menjuhkan / mengeluarkan penderita dari lingkungan trauma panas juga merupakan prinsip utama dari penanganan trauma termal. ( American College of Surgeon Committee on Trauma, 1997)
Kulit adalah organ kompleks yang memberikan pertahanan tubuh pertama terhadap kemungkinan lingkungan yang merugikan. Kulit melindungi tubuh terhadap infeksi, mencegah kehilangan cairan tubuh, membantu mengontrol suhu tubuh, berfungsi sebagai organ eksretori dan sensori, membantu dalam proses aktivasi vitamin D, dan mempengaruhi citra tubuh. Luka bakar adalah hal yang umum, namun merupakan bentuk cedera kulit yang sebagian besar dapat dicegah. ( Horne dan Swearingen, 2000 )
The National Institute of Burn Medicine yang mengumpulkan data- data statistik dari berbagai pusat luka bakar di seluruh AS mencatat bahwa sebagian besar pasien (75%) merupakan korban dari perbuatan mereka sendiri. Tersiram air mendidih pada anak- anak yang baru belajar berjalan, bermain- main dengan korek api pada usia anak sekolah, cedera karena arus listrik pada remaja laki- laki, penggunaan obat bius, alkohol serta rokok pada orang dewasa semuanya ini turut memberikan kontribusi pada angka statistik tersebut (Brunner & Suddarth, 2001).


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat, 2001).
B. ETIOLOGI
Menurut dr Sunarso K, Sp B (2009) panas bukan merupakan satu-satunya penyebab dari luka bakar, beberapa jenis bahan kimia dan arus listrik juga bisa menyebabkan terjadinya luka bakar. Biasanya bagian tubuh yang terbakar adalah kulit, tetapi luka bakar juga bisa terjadi pada jaringan di bawah kulit, bahkan organ dalampun bisa mengalami luka bakar meskipun kulit tidak terbakar.
Sebagai contoh, meminum minuman yang sangat panas atau zat kaustik (misalnya asam) bisa menyebabkan luka bakar pada kerongkongan dan lambung. Menghirup asap dan udara panas akibat kebakaran gedung bisa menyebabkan terjadinya luka bakar pada paru-paru. Luka bakar listrik bisa disebabkan listrik yang dihasilkan oleh suatu arus listrik yang mengalir dari sumber listrik ke dalam tubuh manusia.
Resistensi (kemampuan tubuh untuk menghentikan atau memperlambat aliran listrik) yang tinggi terjadi pada kulit yang bersentuhan dengan sumber listrik, karena itu pada kulit tersebut banyak energi listrik yang diubah menjadi panas sehingga permukaannya terbakar. Luka bakar listrik juga menyebabkan kerusakan jaringan dibawah kulit yang sangat berat. Ukuran dan kedalamannya bervariasi dan bisa menyerang bagian tubuh yang jauh lebih luas daripada bagian kulit yang terluka. Kejutan listrik yang luas bisa menyebabkan kelumpuhan pada sistem pernafasan dan gangguan irama jantung sehingga denyut jantung menjadi tidak beraturan. Luka bakar kimia bisa disebabkan oleh sejumlah iritan dan racun, termasuk asam dan basa yang kuat, fenol dan kresol (pelarut organik), gas mustard dan fosfat.
Menurut A.A.GN. Asmarajaya (2003), berdasarkan perjalanan penyakitnya luka bakar dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase akut
Pada fase ini masalah yang ada berkisar pada gangguan saluran napas karena adanya cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi. Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termis yang bersifat sistemik.
2. Fase sub akut
Fase ini berlangsung setelah syok berakhir. Luka terbuka akibat kerusakan jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) menimbulkan masalah inflamasi, sepsis dan penguapan cairan tubuh yang disertai panas / energi.
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur, dan deformitas lainnya.

C. PATOFISIOLOGI
Menurut Iswinarno (2003) luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel dan menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan hemokonsentrasi. Burn shock ( shock Hipovolemik ) merupakan komplikasi yang sering terjadi, manisfestasi sistemik tubuh terhadap kondisi ini adalah :
1. Respon kardiovaskuler
Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler melalui kebocoran kapiler mengakibatkan kehilangan Na, air dan protein plasma serta edema jaringan yang diikuti dengan penurunan curah jantung. Hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada organ mayor, dan edema menyeluruh.
2. Respon Renalis
Dengan menurunnya volume inravaskuler maka aliran ke ginjal dan GFR menurun mengakibatkan keluaran urin menurun dan bisa berakibat gagal ginjal
3. Respon Gastro Intestinal
Respon umum pada luka bakassr > 20 % adalah penurunan aktivitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolemik dan neurologik serta respon endokrin terhadap adanya perlukaan yang luas. Pemasangan NGT mencegah terjadinya distensi abdomen, muntah dan aspirasi.
4. Respon Imonologi
Sebagian basis mekanik, kulit sebgai mekanisme pertahanan dari organisme yang masuk. Terjadinya gangguan integritas kulit akan memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam luka.
Pembagian zona kerusakan jaringan menurut A.A GN. Asmarajaya SpB (2003) :
1. Zona koagulasi yang merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan ( koagulasi protein ) akibat pengaruh panas.
2. Zona statis yang merupakan daerah yang berada langsung di luar zona koagulasi, di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi ( no flow phenomena) diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12- 24 jam pasca cedera, dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi yang merupakan daerah di luar zona statis yang ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa abnyak melibatkan reaksi seluler.

D. KLASIFIKASI
Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan terapi dan perawatan, luka bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman luka, dan keseriusan luka, yakni :
1. Berdasarkan penyebab
a. Luka bakar karena api
Luka bakar karena api termasuk angka kejadian yang banyak dalam masyarakat. Terutama akibat kompor gas yang meledak, percikan api listrik atau juga akibat kelalaian saat menyalakan lilin. Hal tersebut hanya merupakan beberapa contoh dari kejadian luka bakar karena api. Hal yang perlu diwaspadai pada luka bakar karena api adalah adanya kejadian cedera inhalasi, terutama jika terdapat riwayat terjebak di dalam suatu ruangan, sehingga komplikasi yang ditimbulkan akan lebih berat. ( Poengki, 2009)
b. Luka bakar karena air panas
Menurut dr Poengki (2009) Luka bakar merupakan bahaya yang potensial terjadi di setiap rumah tangga, dan banyak laporan menunjukkan luka bakar oleh karena air panas atau cairan panas adalah jenis yang paling sering terjadi pada anak. Luka bakar pada anak 65,7% disebabkan oleh air panas atau uap panas (scald).
Mayoritas dari luka bakar pada anak-anak terjadi di rumah dan sebagian besar dapat dicegah. Dapur dan ruang makan merupakan daerah yang seringkali menjadi lokasi terjadinya luka bakar. Anak yang memegang oven, menarik taplak dimana di atasnya terdapat air panas, minuman panas atau makanan panas. Dalamnya luka bakar tergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan agen penyebab luka bakar tersebut. Suhu yang kurang dari 400C dapat ditoleransi dalam periode waktu yang lama tanpa menyebabkan luka bakar.
c. Luka bakar karena bahan kimia
Menurut Sjamsuhidajat (2005) luka bakar dapat disebabkan oleh asam, alkali dan hasil- hasil pengolahan minyak. Luka bakar alkali lebih berbahaya dari asam, sebab alkali lebih dalam merusak jaringan. Segeralah bersihkan bahan kimia tersebut dari luka bakar. Kerusakan jaringan akibat luka bakar bahan kimia dipengaruhi oleh lamanya kontak, konsentrasi bahan kimia dan jumlahnya. Segera lakukan irigasi dengan air sebanyak- banyaknya, bila mungkin gunakan penyemprot air. Lakukan tindakan ini dalam waktu 20-30 menit. Untuk luka bakar alkali, diperlukan waktu yang lebih lama. Bila bahan kimia merupakan bubuk, sikatlah terlebih dahulu sebelum irigasi.
Jangan memberikan bahan- bahan penetral ( neutralizing agent) sebab reaksi kimiawi yang terjadi akibat pemberian bahan penetral dapat menimbulkan panas dan akan memperberat kerusakan yang terjadi. Untuk luka bakar pada mata, memerlukan irigasi terus- menerus selama 8 jam pertama setelah luka bakar. Untuk irigasi ini dapat digunakan kanula kecil yang dipasang pada sulcus palpebra.
d. Luka bakar karena listrik
Dalam ATLS (1997) kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik mengaliri tubuh, karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan tinggi, antara lain karena petir. Arus listrik menimbulkan kelainan karena rangsangan terhadap saraf dan otot. Energi panas akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jaringan tersebut. Tubuh merupakan penghantar tenaga listrik, dan panas yang ditimbulkannya menyebabkan luka bakar pada tubuh. Perbedaan kecepatan hilangnya panas dari jaringan tubuh superficial dengan jaringan tubuh yang lebih dalam, menghasilkan keadaan dimana jaringan yang lebih dalam bisa mengalami nekrosis, sedangkan kulit diatasnya bisa terlihat normal.Rabdomiolisis menghasilkan pelepasan mioglobin yang dapat menyebabkan kegagalan ginjal.
Penanganan harus segera dilakukan pada penderita dengan luka bakar listrik meliputi perhatian terhadap jalan nafas, pernafasan, pemasangan infuse, ECG, dan pemasangan kateter. Apabila urin berwarna gelap, mungkin urin mengandung hemokhromogens. Janganlah menunggu konfirmasi laboratorium untuk melakukan terapi terhadap mioglobinuria. Pemberian cairan harus ditingkatkan sedemikian rupa sehingga tercapai produksi urin sekurang- kurangnya 100 cc/ jam ( pada dewasa). Bila urin belum tampak jernih, berikan segera 25 gr manitol dan tambahan 12,5 gr manitol pada tiap penambahan 1 liter cairan untuk mempertahankan dieresis sejumlah tersebut diatas. Bila terjadi asidosis metabolic, pertahankan perfusi sebaik mungkin dan berikan natrium bikarbonat untuk membuat urin menjadi alkalis dan meningkatkan kelarutan mioglobin dalam urin.s
e. Luka bakar karena radiasi
Menurut ATLS (1997) efek dini dari radiasi dosis tinggi akan tampak jelas dalam waktu beberapa menit atau beberapa hari. Efek lanjut mungkin baru tampak beberapa minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Mutasi (pergeseran) bahan genetik dari sel-sel organ kelamin akan tampak jelas hanya jika korban pemaparan radiasi memiliki anak, dimana anaknya mungkin terlahir dengan kelainan genetik.
Efek kerusakan yang terjadi akibat radiasi tergantung kepada jumlah (dosis), lamanya pemaparan, kecepatan pemaparan dan banyaknya bagian tubuh yang terkena radiasi.. Dimana dosis tunggal yang diberikan dalam waktu singkat bisa berakibat fatal, tetapi dosis yang sama yang diberikan selama beberapa minggu atau beberapa bulan bisa hanya menimbulkan efek yang ringan. Jumlah dosis total dan kecepatan pemaparan menentukan efek radiasi terhadap bahan genetik pada sel.
Banyaknya bagian tubuh yang terkena radiasi Jika disebarluaskan ke seluruh permukaan tubuh, radiasi yang lebih besar dari 6 gray biasanya menyebabkan kematian, tetapi jika hanya diarahkan kepada sebagian kecil permukaan tubuh (seperti yang terjadi pada terapi kanker), maka 3-4 kali jumlah tersebut bisa diberikan tanpa menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh Penyebarluasan radiasi di dalam tubuh, bagian tubuh dimana sel-sel membelah dengan cepat (misalnya usus dan sumsum tulang), lebih mudah mengalami kerusakan akibat radiasi daripada sel-sel yang membelah secara lebih lambat (misalnya otot dan tendo). Oleh karena itu, selama menjalani terapi radiasi untuk kanker, diusahakan agar bagian tubuh yang lebih peka terhadap radiasi dilindungi sehingga bisa digunakan radiasi dosis tinggi.
Kecepatan dosis adalah jumlah radiasi yang diterima seseorang selama periode waktu tertentu. Kecepatan dosis radiasi dari lingkungan yang tidak dapat dihindari adalah rendah, yaitu sekitar 1-2 miligray/tahun (1 miligray sama dengan 1/1,000 gray), yang tidak menimbulkan efek pada tubuh. Efek radiasi sifatnya kumulatif, setiap pemaparan baru akan ditambahkan kepada pemaparan sebelumnya untuk menentukan dosis total dan kemungkinan efeknya pada tubuh. Semakin tinggi kecepatan dosis atau dosis totalnya, maka semakin besar kemungkinan timbulnya resiko.
Jika seseorang menjadi sakit setelah menjalani terapi radiasi atau setelah terkena radiasi dalam suatu kecelakaan, maka kemungkinan telah terjadi cedera akibat radiasi. Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendiagnosis keadaan ini. Pemeriksaan darah dan sumsum tulang berulang bisa memberikan informasi tambahan tentang beratnya cedera yang terjadi.
Radiasi kronik yang pemaparannya tidak diketahui atau tidak dihiraukan, sulit atau bahkan tidak mungkin terdiagnosis. Jika diduga telah terjadi suatu cedera akibat radiasi, biasanya dicari kemungkinan terjadinya pemaparan di tempat kerja dan dilakukan pemeriksaan kromosom (pembawa bahan genetik di dalam sel) secara periodik meskipun hasilnya mungkin tidak pasti. Pemeriksaan mata juga dilakukan secara periodik untuk mengetahui adanya katarak.
Kulit yang terkontaminasi oleh bahan radioaktif harus segera dicuci dengan air yang banyak dan (jika ada) dengan larutan yang memang dibuat untuk mencuci bahan radioaktif. Luka tusuk yang kecil harus benar-benar dibersihkan agar semua partikel radioaktif terbuang meskipun menimbulkan nyeri.n Jika bahan radioaktif tertelan, harus dirangsang untuk muntah. Pemaparan radioaktif yang berlebihan mungkin perlu dipantau dengan pemeriksaan pernafasan dan air kemih untuk radioaktif.
Sindroma otak akut selalu berakibat fatal, karena itu pengobatan dimaksudkan untuk mengurangi nyeri, kecemasan dan gangguan pernafasan. Untuk mengatasi kejang diberikan obat penenang. Gejala sakit radiasi akut akibat terapi radiasi pada perut bisa dikurangi dengan obat anti-mual dan anti-muntah yang diberikan sebelum pasien menjalani terapi radiasi. Sindroma saluran pencernaan bisa diatasi dengan anti-muntah, obat penenang dan makanan lunak. Cairan diberikan sesuai dengan kebutuhan.
Pada 4-6 hari sesudah radiasi, dilakukan transfusi darah berulang dan diberikan antibiotik, sampai sel-sel baru mulai tumbuh di dalam saluran pencernaan. Pada sindroma hematopoietik, untuk menggantikan sel darah yang hilang dilakukan transfusi. Untuk mencegah infeksi diberikan antibiotik dan penderita dijauhkan dari orang-orang yang sedang menderita suatu infeksi. Kadang dilakukan pencangkokkan sumsum tulang, tetapi angka keberhasilannya rendah.
Langkat pertama untuk mengatasi efek lanjut dari pemaparan jangka panjang adalah menghilangkan sumber radiasi. Bahan radioaktif tertentu (misalnya radium, torium dan radiostrontium) dapat dibuang dari dalam tubuh dengan obat-obatan yang menempel pada bahan tersebut dan kemudian dibuang melalui air kemih. Obat-obat tersebut akan sangat efektif jika diberikan segera setelah terjadinya pemaparan.
Luka terbuka dan kanker diangkat atau diperbaiki melalui pembedahan.Pengobatan leukemia akibat radiasi adalah dengan kemoterapi. Sel darah bisa digantikan melalui transfusi tetapi tindakan ini hanya bersifat sementara karena sumsum tulang yang telah mengalami kerusakan akibat radiasi tidak mungkin tumbuh kembali. Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan kesuburan, tetapi kelainan fungsi indung telur dan buah zakar yang menyebabkan rendahnya kadar hormon seksual dapat diatasi dengan terapi sulih hormon.
f. Luka bakar karena suhu rendah
Cedera akibat suhu tubuh dingin terutama terjadi pada bagian ujung tubuh yang langsung terkena suhu dingin, seperti jari kaki dan tangan, telinga, dan hidung. Faktor kelembaban udara yang rendah serta angin kencang memperberat kerusakan pada daerah yang tidak terlindung pakaian.
Awalnya bagian tubuh yang terpajan terasa dingin, kemudian diikuti rasa tebal, lalu bagian itu kehilangan daya rasa. Kadang rasa nyeri terasa menyengat atau berdenyut. Kulit mula- mula kemerahan , lalu menjadi pucat seperti lilin.Pada waktu suhu jaringan turun, terjadi vasokonstriksi arteriol dan terjadi hipoksia sel.
Jenis- jenis trauma dingin ( dalam ATLS 1997 ) dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu :
Frosnip yang merupakan bentuk yang paling ringan, ditandai dengan adanya rasa nyeri, tampak pucat dan anestesi di daerah yang terkena. Keadaan tersebut bersifat reversible akan pulih setelah tindakan pemanasan dan tidak terdapat kehilangan jaringan, kecuali bila keadaan ini berulang dalam beberapa tahun, akan menyebabkan kehilangan bantalan lemak atau terjadi atrofi.
Frosbite yaitu adanya pembekuan jaringan yang terjadi karena pembentukan kristal intraselluler dan oklusi mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia jaringan. Beberapa dari kerusakan jaringan terjadi akibat reperfusion injury setelah upaya penghangatan tubuh. Sama halnya seperti pada luka bakar, frostbite biasanya dibagi menjadi 4 derajat kerusakan,
Non Freezing Injury ( trauma dingin tidak membekukan ) yaitu terjadi kerusakan endotel mikrovaskuler, stasis dan oklusi vaskuler “trench frost” (kaki parit) atau kaki dan tangan tercelup ( immersion foot or hand) menjelaskan satu keadaan nonfreezing injury dari tangan atau kaki, khususnya sering terjadi pada tentara, pelaut dan nelayan, sebagai akibat kontak menahun dengan “keadaan basah”, suhu dingin diatas titik beku. Meskipun kaki tampak hitam, tetapi tidak terjadi kerusakan jaringan dalam. Terjadi keadaan- keadaan vasospasme dan vasodilatasi pembuluh darah dengan akibat bahwa jaringan yang terkena mula- mula dingin dan anestetik berlanjut menjadi hyperemia dalam waktu 24 -48 jam.
Dengan keadaan hyperemia, terjadi rasa nyeri hebat seperti terbakar dan “disestesi” disertai timbulnya gambaran kerusakan jaringan misalnya edema, timbulnya vesikel / bula , kemerahan, ekimosis dan ulserasi. Dapat terjadi penyakit infeksi berupa selulitis, limfangitis atau gangrene. Dengan selalu memperhatikan upaya- upaya hygiene kaki, dapat dicegah terjadinya penyakit tersebut.
Perasaan gatal pada tangan dan kaki ( Chilblain atau Pernio) merupakan manifestasi kulit sebagai akibat kontak berulang dengan keadaan atau suasana lembab atau dingin, seperti terjadi pada para nelayan, atau kontak dengan keadaan dingin dan kering pada pendaki gunung. Keadaan ini terutama terjadi pada daerah muka, tibia anterior, bagian daerah dari tangan dan kaki dan pada daerah- daerah yang tidak terlindung dengan baik.
2. Berdasarkan kedalaman luka bakar
a. Luka bakar derajat I
1) Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
2) Kulit kering, hiperemi berupa eritema
3) Tidak dijumpai bulae
4) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
5) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 5-10 hari

b. Luka bakar derajat II
1) Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi.
2) Dijumpai bulae.
3) Nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi.
4) Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal.

Luka bakar derajat II ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
i. Derajat II dangkal (superficial)
Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis, Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari.
ii. Derajat II dalam (deep)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung epitel yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.
c. Luka bakar derajat III
Luka bakar ini sangat dalam dan merusak organ-organ dibawah kulit seperti otot, syaraf, tulang dan bila terjadi karena listrik dapat merusak organ-organ tubuh lainnya seperti hati, ginjal dan jantung. Kulit tampak putih dan kaku bila digerakan. Kulit yang kaku ini bila terdapat melingkar pada anggota gerak harus segera dilakukan insisi(robekan) kulit untuk menghilangkan tekanan pada pembuluh darah Nadi yang ada dibawahnya. Bila tidak bagian anggota gerak bagian distal(bawah) dari lesi akan mengalami kematian.
1) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih dalam.
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.
3) Tidak dijumpai bulae.
4) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar.
5) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar.
6) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
7) Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses epitelisasi spontan dari dasar luka.

4. luka bakar derajat IV
Luka bakar derajat IV adalah luka bakar yang mengenai otot, bahkan hingga ke tulang.
3. Berdasarkan tingkat keseriusan luka
American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga kategori, yaitu:
a. Luka bakar mayor
1) Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa dan lebih dari 20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
3) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan perineum.
4) Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa memperhitungkan derajat dan luasnya luka.
5) Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.
b. Luka bakar moderat
1) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10-20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
3) Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan perineum.
c. Luka bakar minor
Luka bakar minor seperti yang didefinisikan oleh Trofino (1991) dan Griglak (1992) adalah :
Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa dan kurang dari 10 % pada anak-anak.
1) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.
2) Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.
3) Luka tidak sirkumfer.
4) Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur.
4. Ukuran dan luas luka bakar
Dalam menentukan ukuran luas luka bakar kita dapat menggunakan beberapa metode yaitu :
a. Rule of nine dari Wallace
Kepala dan leher : 9%
Dada depan dan belakang : 18%
Abdomen depan dan belakang : 18%
Tangan kanan dan kiri : 18%
Paha kanan dan kiri : 18%
Kaki kanan dan kiri : 18%
Genital : 1%
b. Diagram Penentuan luas luka bakar pada anak- anak dengan diagram Lund dan Browder sebagai berikut:
LOKASI USIA (Tahun)
0-1 1-4 5-9 10-15 DEWASA
KEPALA 19 17 13 10 7
LEHER 2 2 2 2 2
DADA & PERUT 13 13 13 13 13
PUNGGUNG 13 13 13 13 13
PANTAT KIRI 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
PANTAT KANAN 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
KELAMIN 1 1 1 1 1
LENGAN ATAS KA. 4 4 4 4 4
LENGAN ATAS KI. 4 4 4 4 4
LENGAN BAWAH KA 3 3 3 3 3
LENGAN BAWAH KI. 3 3 3 3 3
TANGAN KA 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
TANGAN KI 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
PAHA KA. 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
PAHA KI. 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
TUNGKAI BAWAH KA 5 5 5,5 6 7
TUNGKAI BAWAH KI 5 5 5,5 6 7
KAKI KANAN 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
KAKI KIRI 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5

b. Perhitungan luas luka bakar menurut Linch dan Blocker (Rumus 10) untuk bayi:
Kepala: 20%
Tangan, masing-masing 10%
Kaki, masing-masing 10%
Badan kanan 20 %, kiri 20 %

E. PENATALAKSANAAN

Dalam Iswinarno (2003) prinsip penatalaksanaan dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut dan lanjut.
Pada Fase Akut / Awal :
Cedera inhalasi merupakan factor yang secara nyata memiliki korelasi dengan angka mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi dalam waktu singkat, dalam 8 sampai 24 jam pertama pasca cedera. Pemasangan pipa endotrakea dan atau krikotirotomi merupakan suatu tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan adanya cedera inhalasi. Sementara penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan penyelamatan tersebut ( terapi inhalasi, pembebasan saluran nafas dari produk secret mukosa, pengaturan posisi penderita dan fisioterapi seawall mungkin). Masing- masing turut berperan dalam keberhasilan terapi awal. Penderita yang bertahan hidup setelah ancaman cedera inhalasi dalam waktu 8- 24 jam pertama ini, masih dihadapkan pada komplikasi saluran pernafasan yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca trauma. Komplikasi dari cedera inhalasi, dikenal sebagai kondisi ARDS, yang juga memiliki prognosis sangat buruk.
1. Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang merupakan suatu proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.( Baxter, Barkland).
2. mengatasi gangguan keseimbangan cairan
- Protokol pemberian cairan mengunakan rumus Brooke yang sudah
dimodifikasi yaitu :
24 jam I : Ciran Ringer Lactat : 2,5 – 4 cc/kg BB/% LB.
Dimana ½ bagian diberikan dalam 8 jam pertama (dihitung mulai dari jam kecelakaan) dan ½ bagian lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya.
24 jam II : Cairan Dex 5 % in Water : 24 x (25 + % LLB) X BSA cc.
Albumin sebanyak yang diperlukan, (0,3 – 0,5 cc/kg/%).
3. Mengatasi gangguan pernafasan
4. Mengatasi infeksi
5. Eksisi luka scar dan skin graft.
6. Pemberian nutrisi dilakukan setelah keadaan umum pasien baik, sebelumnya pasien dipuasakan.
7. Rahabilitasi
8. Penaggulangan terhadap gangguan psikologis.
Pada fase subakut atau lanjutan:
Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah yang dapat dikelompokan dalam dua golongan, dan masing- masing saling berhubungan, yaitu memicu stress metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan sendirinya kerusakan kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa kendali dan penguapan yang terjadi tidak ahnya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energy (evaporation heat loss). Kondisi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat, namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
Gangguan keempat system homeostasis yang memicu pelepasan katekolamin dan hormone stress lain, sehingga terjadi deteriorisasi system pengaturan, dalam kondisi gangguan sirkulasi yang belum mencapai level normal ( dalam 3- 4 hari pasca cedera ), kondisi stress yang timbul merupakan faktor yang memiliki nilai prognostik. Dengan kehilangan kulit yuang berperan sebagai barier terhadap infeksi, invasi kuman menyebabkan sepsis luka yang yang memperberat keadaan. Kedua hal tersebut diatas dapat menjadi factor yang berperan dalam memicu timbulnya respons inflamasi sistemik, sepsis dan sindrom disfungsi organ multiple.
Jaringan yang rusak melepas kompleks lipid- protein yang dulu dikenal sebagai burn-toxin, memiliki kekuatan ribuan kali dibandingkan endotoksin. Zat ini menyebabkan inhibisi proses fosforilasi oksidatif yang mengganggu fungsi sel ( Kremer 1978, 1979) dan memicu pelepasan sitokin dan mediator kimia lain yang breperan pada proses inflamasi ( interleukin, tromboksane, tumor necrotizing factor, prostaglandin, termasuk radikal bebas). Reaksi yang mulanya bersifat lokal berkembang menjadi suatu bentuk reaksi sistemik, meliputi beberapa tahapan (kaskade) yang rumit, dan berkaitan dengan status gizi dan system imunitas penderita. Sindrom respons inflamasi sistemik yang berkembang tidak dapat dihentikan melalui suatu system intervensi, sindrom disfungsi organ multiple adalah rangkaian akhir dari perjalanan penyakit yang berakhir dengan kematian. Bila sudah terjadi kegagalan organ ( jantung, paru , ginjal ), angka kematian berkisar 70.
Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :
1. Clothing
singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
2. Cooling
Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir.
3. Cleaning
pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang
4. Chemoprophylaxis
pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang lebih dalam dari superficial partial- thickness (dapat dilihat pada tabel 4 jadwal pemberian antitetanus). Pemberian krim silver sulvadiazin untuk penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2 bulan
5. Covering and
penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
6. Comforting
dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.
Prinsip Penanganan Frosbite dan Trauma Dingin Non Beku yaitu penanganan harus sesegera mungkin dilakukan untuk mengurangi waktu pembekuan jaringan. Upaya pemanasan hendaknya tidak dilakukan bila penderita beresiko untuk mengalami pembekuan ulang. Baju- naju yang sempit harus dilepaskan dan diganti dengan selimut hangat. Apabila penderita bisa minum, berikan minuman hangat. Rendam bagian tubuh yang kedinginan dengan air hangat bersuhu 40oC ( jika mungkin air tersebut berputar ) hingga warna kulit dan perfusi kembali normal. Hindari pemanasan kering dan jangan lakukan tindakan mengurut. Tindakan penghangatan akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat sehingga memerlukan pemberian obat- obat analgesik. Dianjurkan untuk melakukan monitoring jantung sewaktu tindakan penghangatan tubuh. ( American College of Surgeons Committee on Trauma, 1997 )
Dikenal dua cara merawat luka :
1. Perawatan terbuka (exposure method)
2. Perawatan tertutup (occlusive dressing method)
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang. Kerugiannya bila digunakan obat tertentu, misalnya mitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan keluargapun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor.
Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan aktif. Keadaan luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk merawat LB yang dangkal. Untuk LB III dengan eksudasi dan pembentukan pus harus dilakukan pembersihan luka berulang-ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita perlu dimandikan tiap hari, tubuh sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi. Keuntungannya adalah luka tampak rapi, terlindung dan enak bagi penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan antispetik. Balutan kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan terangkat, sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement harus lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.
Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :
1. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).
2. Derajat III > 10%
3. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan lunak yang hebat.
4. Luka bakar akibat sengatan listrik
5. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki, mata, telinga, dan anogenital.
6. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau > 15% pada orang dewasa.
7. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah, mata, tangan, kaki atau perineum
9. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10. Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik dan benar di rumah
11. Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12. Terjadi luka bakar pada organ dalam.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Laboratorium : Hb, Ht, Leucosit, Thrombosit, Gula darah, Elektrolit, Ureum, Kreatinin, Protein, Albumin, Hapusan luka, Urine lengkap.
2.Analisa gas darah (bila diperlukan).
3.Rontgen : Foto Thorax
4.EKG
5.CVP : untuk mengetahui tekanan vena sentral, diperlukan pada luka bakar lebih dari 30 % dewasa dan lebih dari 20 % pada anak.

G. KOMPLIKASI
1. Infeksi. Infeksi merupakan masalah utama. Bila infeksi berat, maka penderita dapat mengalami sepsis. Berikan antibiotika berspektrum luas, bila perlu dalam bentuk kombinasi. Kortikosteroid jangan diberikan karena bersifat imunosupresif (menekan daya tahan), kecuali pada keadaan tertentu, misalnya pda edema larings berat demi kepentingan penyelamatan jiwa penderita.
2. Curling’s ulcer (ulkus Curling). Ini merupakan komplikasi serius, biasanya muncul pada hari ke 5–10. Terjadi ulkus pada duodenum atau lambung, kadang-kadang dijumpai hematemesis. Antasida harus diberikan secara rutin pada penderita luka bakar sedang hingga berat. Pada endoskopi 75% penderita luka bakar menunjukkan ulkus di duodenum.
3. Konvulsi. Komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak adalah konvulsi. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, infeksi, obat-obatan (penisilin, aminofilin, difenhidramin) dan 33% oleh sebab yang tak diketahui.
4. Komplikasi luka bakar yang lain adalah timbulnya kontraktur dan gangguan kosmetik akibat jaringan parut yang dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi dan meyebabkan kekakuan sendi sehingga memerlukan program fisioterapi yang intensif dan tindakan bedah.
5. Gangguan Jalan nafas. Paling dini muncul dibandingkan komplikasi lainnya, muncul pada hari pertama. Terjadi karena inhalasi, aspirasi, edema paru dan infeksi. Penanganan dengan jalan membersihkan jalan nafas, memberikan oksigen, trakeostomi, pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan antibiotika. Cedera Inhalasi yang dibahas di dalam alam dr M. Sjaifudin Noer (2003), cedera inhalasi merupakan terminologi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan mukosa saluran nafas akibat adanya paparan terhadap suatu iritan yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa distress pernafasan. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka bakar mengenai daerah muka (wajah ), dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan nafas akibat gas, asap atau uap panas yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan nafas karena edema laring. Gejala yang timbul adalah sesak nafas, takipneu, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap karena jelaga.
Mekanisme pada cedera inhalasi dibagi menjadi tiga penyebab, yaitu karbon monoksida, trauma panas langsung pada daerah saluran nafas atau digestive, dan inhalasi dari produk bahan yang terbakar atau terhirup bahan toksik atau korosif.
Trauma panas langsung adalah terhirupnya sesuatu yang sangat panas, produk- produk yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar seperti bahan jelaga dan bahan khusus yang menyebabkan kerusakan dari mukosa langsung pada percabangan trakeobronkial.
Keracunan asap disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan material yang diproduksi. Akibat dari termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksius seperti hydrogen sianida, nitrogen dioksida, hydrogen klorida, akreolin, dan partikel- partikel tersuspensi. Efek akut dari bahan kimia ini pada saluran nafas adalah iritasi dan bronkokonstriksi.
Kecurigaan adanya cedera inhalasi adalah bila pada penderita luka bakar terdapat 3 atau lebih dari tanda- tanda berikut :
1. Riwayat terjebak dalam rumah atau tempat industry yang tertutup ( in door)
2. Sputum yang tercampur arang
3. Luka bakar perioral, termasuk hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran termasuk confusion
5. Tanda distress nafas, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas dan adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan, menandakan iritasi mukosa
6. Gejala distress nafas takipneu atau kelainan pada auskultasi seperti krepitasi atau ronkhi
7. Sesak atau tidak ada suara.
.H. PROGNOSIS
Pemulihan tergantung kepada kedalaman dan lokasi luka bakar.
Pada luka bakar superfisial (derajat I dan derajat II superfisial), lapisan kulit yang mati akan mengelupas dan lapisan kulit paling luar kembali tumbuh menutupi lapisan di bawahnya.
Lapisan epidermis yang baru dapat tumbuh dengan cepat dari dasar suatu luka bakar superfisial dengan sedikit atau tanpa jaringan parut. Luka bakar superfisial tidak menyebabkan kerusakan pada lapisan kulit yang lebih dalam (dermis).
Luka bakar dalam menyebabkan cedera pada dermis. Lapisan epidermis yang baru tumbuh secara lambat dari tepian daerah yang terluka dan dari sisa-sisa epidermis di dalam daerah yang terluka. Akibatnya, pemulihan berlangsung sangat lambat dan bisa terbentuk jaringan parut.
Daerah yang terbakar juga cenderung mengalami pengkerutan, sehingga menyebabkan perubahan pada kulit dan mengganggu fungsinya. Luka bakar ringan pada kerongkongan, lambung dan paru-paru biasanya akan pulih tanpa menimbulkan masalah. Luka yang lebih berat bisa menyebabkan pembentukan jaringan parut dan penyempitan. Jaringan parut bisa menghalangi jalannya makanan di dalam kerongkongan dan menghalangi pemindahan oksigen yang normal dari udara ke darah di paru-paru.











BAB III
SIMPULAN
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, radiasi, juga kontak langsung dengan suhu rendah ( frost bite ). Luka bakar biasanya dinyatakan dalam derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar, dimana umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.
Prinsip penanganan luka bakar bergantung fase yang terjadi dimana prinsip penatalaksanaan dibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan lanjut, dimana pada fase akut adalah penanggulangan syok, mengatasi gangguan pernafasan, mengatasi infeksi, eksisi luka scar dan skin graft, pemberian nutrisi dilakukan setelah keadaan umum pasien baik, sebelumnya pasien dipuasakan, rehabilitasi, penaggulangan terhadap gangguan psikologis. Sedangkan pada fase subakut atau lanjutan dilakukan manakala penanganan fase akut yang kurang maksimal mengakibatkan perlu penanganan yang serius pada fase subakut atau lanjutan, yang meliputi 4 sistem homeostasis, yaitu kardiovaskuler, Renalis, Imonologi, dan Gastro Intestinal.
Pemulihan tergantung kepada kedalaman dan lokasi luka bakar.
Pada luka bakar superfisial (derajat I dan derajat II superfisial), lapisan kulit yang mati akan mengelupas dan lapisan kulit paling luar kembali tumbuh menutupi lapisan di bawahnya.






DAFTAR PUSTAKA
A. Bambang Darwono; F. Sutoko, Protokol Pengelolaan Luka Bakar, Bagian Bedah, FK Undip/RS dr. Kariadi.
ATLS. American College of Surgeons Committee On Trauma. 1997. First Impression. United States of America.
Basic Science of Plastic and Reconstructive Surgery. Pertemuan ilmiah berkala trigonum plus XV. Oktober 2003.
Baxter CR. Management of Burn Wound. Dermatol Clin 1993;11:709-14.
Bisono, Pusponegoro AD; Luka, Trauma, Syok dan Bencana. Dalam : Syamsuhidajat R, Jong WD ed Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997 : 81-91.
Britt LD, Danscobe WH, Rodriguez A; New Horizon in management of hypotermi and frostbite injury. Surgical Clinics of North America:1991.
Charles W. Van Way III, Charles A, Buerk : Manual Ketrampilan Dasar Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, 1990, 105-110.
Cioffi WG, Graves TA, McMannus WF et al: High frequency percussive ventilation in patients with inhalation injury. Journal of Trauma 1987.
Danzl D, Pozos R, Auerbach P, et al: Multicenter hypothermia survey. Annals of Emergency Medicine, 1987.
Dr. Cornel Prawirawinata. Dasar-dasar Dalam Luka Bakar, PUSDALIN IDI.
Dr. I Nyoman Putu Riasa, SpBP. Memahami Luka Bakar, Penanggung Jawab Medis Unit Luka Bakar RS Sanglah, Denpasar, Bali.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Edlich R, Change D, Birk K, et al: Cold Injuries. Comprehensive Therapy, 1989.
Gentilello L, Jurkovich G, Moujaes S: Hypothermia and Injury: Termodynamic principles of prevention and treatment. In: Levine B ( Prospectives in Surgery. St Louis, Quality Medical Publishers, 1991.
Haponik EF, Munster AM (eds): Respiratory Injury : Smoke inhalation and Burns. New York, McGraw- Hill,1990.
Horne.M, Mima. Swearingen, L. Pamela, 2001. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa. Jakarta : EGC.
Hospital and prehospital resources for optimal care of patients with burn injury: guidelines for development and operation of burn centers. American Burn Association. J Burn Care Rehabil 1990;11:98-104.
Ian A McGregor M.B., Ch. M., FR.C.S.(Eng), F.R.C.S.(Glasg), Hon. F.A.C.S.; Fundamental Techniques of Plastic Surgery;1980, Churcill Livingstone, Edinburgh London and New York.
James W. Smith, Sherrell J. Aston (Edit): Grabb and Smith Plastic Surgery: Fourth edition ; 1991; Little, Brown and Company; Boston/ Toronto/ London.
Joseph G McCarthy, M.D.; Plastic Surgery (8 vol ); W.B Saunders Company, Philaadelphia, London Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, 1990.
Jurkovich GC: Hipotermia in the trauma patient. Advance Trauma. Chicago, Year Book Medical Publishers, 1989.
Lund C, Browder N. The Estimation of Areas of Burns. Surg Gynecol Obstet 1944;79:352-8.
McMannus WF, Pruitt BA : Thermal Injuries. In: Mattox RH, Moore EE, Feliciano CV. Trauma, 2nd Edition. East Norwalk, Connecticut, Appleton & Lange, 1991.
Mills WJ Jr: Summary of treatment of the cold injury patient: frostbite. Alaska Medicine 1993.
Moenadjat Y. Luka Bakar, Penatalaksanan Awal dan Penatalaksanaannya. Ramlim, Umbas R, Panigoro SS, Kedaruratan Non-Bedah dan Bedah, Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2000 : 62-70.
Mozingo DW, Smith AA, McManus WF, et al: Chemical Burns. Journal of Trauma 1988.
O’ Malley J, Mills W, Kappes B, et al : Frosbite: general and specific treatment, the Alaska method. Alaska Medicine,1993.
Pruitt BA Jr: The Burn patient: II. Later care and complications of thermal injury. Current problems in surgery,1979.
R. Yefta Moenadjat; Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktisi; Jakarta 2000.
Saffle JR, Crandall A, Warden GD: A long term complication of electrical injury. Journal of trauma,1985.
Sauer EW. Introduction. Naskah Burn Symposium and Workshop. Jakarta : Sub Bagian Bedah Plastik. Bagian Ilmu Bedah, FKUI, 1997 : 18-25.
Setiomiharja S. Luka Bakar. Dalam : Rekosprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalung EU, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta Bina Rupa Aksara, 1995, 435-42
Sjamsuhidajat, R. de Jong, Wim, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

1 komentar: