Entri Populer

Kamis, 26 Mei 2011

gastro esofageal refluk disease ( GERD )

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), merupakan gerakan membaliknya isi lambung (mengandung asam dan pepsin) menuju esophagus. GERD juga mengacu pada berbagai kondisi gejala klinik atau perubahan histology yang terjadi akibat refluks gastroesofagus. Ketika esophagus berulangkali kontak dengan material refluk untuk waktu yang lama, dapat terjadi inflamasi esofagus (esofagitis refluks) dan dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esofagus (esofagitis erosi).
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan pertambahan umur maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan pH pada esofagus, berkurang sehingga tingkat keparahan GERD dapat meningkat. Jenis kelamin dan genetik tidak berpengaruh signifikan terhadap GERD.
Faktor resiko GERD adalah kondisi fisiologis/penyakit tertentu, seperti tukak lambung, hiatal hernia, obesitas, kanker, asma, alergi terhadap makanan tertentu, dan luka pada dada (chest trauma). Sebagai contoh, pada pasien tukak lambung terjadi peningkatan jumlah asam lambung maka semakin besar kemungkinan asam lambung untuk mengiritasi mukosa esofagus dan LES.
PATOFISIOLOGI
Faktor kunci pada perkembangan GERD adalah aliran balik asam atau substansi berbahaya lainnya dari perut ke esofagus. Pada beberapa kasus, refluks gastroesofageal dikaitkan dengan cacat tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal bawah (lower esophageal sphincter/LES). Sfinkter secara normal berada pada kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi lambung dari perut, dan berelaksasi saat menelan untuk membuka jalan makanan ke dalam perut. Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh (a) relaksasi sementara LES secara spontan, (b) peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau (c) LES atonik.
Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti faktor anatomik, klirens esofageal (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal yang terlalu lama), resistensi mukosa, pengosongan lambung, epidermal growth factor, dan pendaparan saliva, juga dapat berkontribusi pada perkembangan GERD.
Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke esofagus termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas. Dengan demikian komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan adalah faktor yang paling penting pada penentuan konsekuensi refluks gastroesofageal.
TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala atipikal, dan gejala alarm.
1. Gejala tipikal (typical symptom)
Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah)
2. Gejala atipikal (atypical symptom)
Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.
3. Gejala alarm (alarm symptom)
Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, tersedak.
Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan dengan keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan penyakit yang nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang secara endoskopi menunjukkan adanya erosi esophagus.
DIAGNOSIS
Cara yang paling baik dalam diagnosa adalah dengan melihat sejarah klinis, termasuk gejala yang sedang terjadi dan faktor resiko yang berhubungan. Endoskopi tidak perlu dilakukan pada pasien yang mengalami gejala tipikal, terutama jika pasien merespon baik terhadap pengobatan GERD. Endoskopi dilakukan pada pasien yang tidak merespon terapi, pasien yang mengalami gejala alarm, atau pasien yang mengalami gejala GERD terus menerus. Selain endoskopi, tes yang sering digunakan untuk diagnosa adalah pengamatan refluksat ambulatori, dan manometri.
1. Endoskopi dilakukan untuk melihat lapisan mukosa pada esophagus, sehingga dapat diketahui tingkat keparahan penyakit (erosif atau nonerosif) dan kemungkinan komplikasi yang telah terjadi, karena memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa esofagus.
2. Pengamatan refluksat ambulatori meliputi pengamatan pH refluksat. Pengamatan ini berguna untuk mengetahui paparan asam yang berlebih pada mukosa esofagus dan menentukan hubungan gejala yang dialami dengan paparan asam tersebut. Pasien diminta untuk mencatat gejala-gejala yang dialami selama pengamatan pH sehingga dapat diketahui hubungan gejala dengan pH dan efektivitas pengobatannya.
3. Manometri esophageal digunakan untuk penempatan probe yang tepat dalam pengukuran pH dan untuk mengevaluasi peristaltik serta pergerakan esofagus sebelum operasi antirefluks. Metode ini mengukur tekanan pada lambung, LES, esofagus, dan faring.
TERAPI
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi.
Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa. Secara spesifik, yaitu:
1. Mengurangi keasaman dari refluksat.
2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.
3. Meningkatkan pengosongan lambung.
4. Meningkatkan tekanan LES.
5. Meningkatkan bersihan asam esofagus.
6. Melindungi mukosa esophagus.
Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:
Fase I: mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat pompa proton (PPI).
Fase II: intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.
Fase III: terpai intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).
TERAPI NON FARMAKOLOGI
1. Modifikasi Gaya Hidup
• Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal). Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
• Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol, karminativ (pepermint, dan spearmint))
• Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus (makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
• Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
• Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin 3 jam) (menurunkan volume lambung)
• Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
• Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
• Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus, gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
• Menghindari pakai pakaian yang ketat.
• Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat menurunkan tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin, dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin), nikotin (merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan teofilin).
• Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl, garam besi, aspirin, AINS dan alendronat).
2. Pendekatan Intervensi
Pembedahan Antirefluks
Intervensi bedah adalah alternatif pilihan bagi pasien GERD yang terdokumentasi dengan baik. Tujuan pembedahan antirefluks adalah untuk menegakkan kembali penghalang antirefluks, yaitu penempatan ulang LES, dan untuk menutup semua kerusakan hiatus terkait. Operasi ini harus dipertimbangkan pada pasien yang
• gagal untuk merespon pengobatan farmakologi;
• memilih untuk operasi walaupun pengobatan sukses karena pertimbangan gaya hidup, termasuk usia, waktu, atau biaya obat-obatan;
• memiliki komplikasi GERD (Barret’s Esophagus/BE, strictures, atau esofagitis kelas 3 atau 4); atau
• mempunyai gejala tidak khas dan terdokumentasikan mengalami refluks pada monitoring pH 24-jam.
Terapi Endoluminal
Beberapa pendekatan endoluminal baru untuk pengelolaan GERD baru saja dikembangkan. Teknik-teknik ini meliputi endoscopic gastroplastic plication, aplikasi endoluminal radiofrequency heat energy (prosedur Stretta), dan injeksi endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx pada penghubung gastroesofageal.
TERAPI FARMAKOLOGI
1. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat
Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif mengurangi gejala-gejala dalam waktu singkat, dan antasida sering digunakan bersamaan dengan terapi penekan asam lainnya. Pemeliharaan pH intragastrik di atas 4 dapat menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah enzim proteolitik. Netralisasi cairan lambung juga dapat mengarah pada peningkatan tekanan LES.
Produk antasid yang dikombinasikan dengan asam alginiat adalah agen penetral yang tidak ampuh dan tidak meningkatkan tekanan LES, namun membentuk larutan yang sangat kental yang mengapung di atas permukaan isi lambung. Larutan kental ini diperkirakan sebagai pelindung penghalang bagi kerongkongan terhadap refluks isi lambung dan mengurangi frekuensi refluks.
2. Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H2 (simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin)
Terapi penekanan asam adalah pengobatan utama GERD. Antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD ringan hingga sedang.
Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan GERD sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respons terhadap antagonis reseptor H2 tampaknya tergantung pada (a) keparahan penyakit, (b) regimen dosis yang digunakan, dan (c) durasi terapi.
3. Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol, pantoprazol, dan rabeprazol)
PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien GERD sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif esofagtis atau gejala komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosif yang mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan terapi pemeliharaan jangka panjang umumnya diindikasikan.
PPI memblok sekresi asam lambung dengan menghambat H+/K+-triphosphatase adenosin lambung dalam sel parietal lambung. Ini menghasilkan efek antisekretori yang mendalam dan tahan lama yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan selama lonjakan asam setelah makan.
PPI terdegradasi dalam lingkungan asam sehingga diformulasi dalam tablet atau kapsul pelepasan tertunda. Pasien harus diinstruksikan untuk meminum obat pada pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan untuk memaksimalkan efektivitas, karena obat ini hanya menghambat secara aktif sekresi pompa proton. Jika dosisnya dua kali sehari, dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam setelah dosis pagi hari dan sebelum makan atau makan makanan ringan.
4. Agen Promotilitas
Khasiat dari agen prokinetik cisaprid, metoklopramid, dan bethanechol telah dievaluasi dalam pengobatan GERD. Cisapride memiliki khasiat yang sebanding dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis ringan, tetapi cisaprid tidak lagi tersedia untuk penggunaan rutin karena efek aritmia yang mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan tertentu dan penyakit lainnya.
Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti cisapride, metoklopramid tidak memperbaiki bersihan esofagus. Metoklopramid dapat meredakan gejala GERD tetapi belum ada data substantial yang menyatakan bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus.
Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan antagonis H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah diketahui atau diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal pada pengobatan dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.
5. Protektan Mukosa
Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap, mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak direkomendasikan untuk terapi.
ALGORITMA TERAPI

GERD
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/Penyakit Refluks Gastroesofageal) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.
Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan keadan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan banyak, tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus.
Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang menghasilkan gejala heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks kandungan asam lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik, dan Barret’s esophagus dan gejala ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan batuk.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan atau aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3mmhg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor defensif dari esofagus yaitu pemisah antirefluks berupa tonus LES. Menurunnya tonus LES menyebabkan menurunnya kecepatan klirens asam sehingga apabila terjadi aliran retrograde transient akan ada cukup waktu untuk asam mengiritasi mukosa esofagus. Faktor defensif lainnya dari esofagus adalah ketahanan dari epitelial esofagus. Gejala klinis yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak pada epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang ada gejala disfagia, mual, atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Odinofagia ditemukan pada keadaan yang sudah berat. Batuk-batuk adalah gejala pernapasan umum yang muncul akibat aspirasi dari isi lambung ke dalam tracheobronchial atau dari refleks vagal yang mengakibatkan bronchokonstriksi. Gejala GERD biasanya perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang dapat mengancam nyawa pasien. Pemeriksaan Endoskopi UGI (Upper Gastrointestinal) merupakan golden standard untuk diagnosis GERD dengan ditemukan adanya mukosal break di esofagus. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, yaitu Grade A ditandai dengan adanya erosi dengan diameter <5mm,>5mm tapi tidak saling berhubungan, Grade C apabila lesi sudah konfluen namun tidak mengelilingi seluruh lumen, dan Grade D apabila lesi sudah mengelilingi mukosa esofagus. Pemeriksaan lainnya namun jarang dipakai yaitu esofagografi dengan barium, pemantauan pH 24 jam, Tes Bernstein, Manometri esofagus, Sintiagrafi gastroesofageal, dan tes penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI).
Target penatalaksanaan GERD adalah, menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
Jenis jenis obat yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD yaitu pertama adalah antasid yang berfungsi sebagai buffer terhadap HCl, obat ini juga dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Yang kedua adalah Antagonis H2 Reseptor (H2RA), yang bekerja menghambat reseptor H2 pada sel parietal yang akan menekan sekresi asam, contoh obat dari golongan ini yaitu Ranitidine, Cimetidine, dan Famotidine. Obat pilihan lainya yaitu Sukralfat, yang bekerja meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCL di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Pilihan lain dan yang merupakan drug of choice yaitu Proton Pump Inhibitor (PPI).PPI bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H K-ATPase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. PPI ini dianggap lebih efektif dibandingkan H2RA karena H2RA hanya menghambat sekresi asam basal dan sekresi yang distimulasi oleh makanan, sedangkan PPI menghambat sekresi asam basal, sekresi terstimulasi makanan, dan sekresi asam puasa (fasting acid secretion).
Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagus.
Referensi
1. American Society of Health-System Pharmacists. Ezomeprazole. Medline Plus Drug Information. 2007. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a699054.html
2. Goyal RK. Diseases of the Esophagus, in Harrison's Principles of Internal Medicine 15th Edition Volume 2, Braunwald. McGraw-Hill Professional. 2003. page 1642.
3. Katzung, Betram (ed). Drug Used in The Treatment of Gastroenterintestinal Diseases, in Basic & Clinical Pharmacology 9th Edition. McGraw-Hill Professional; 2004.E-book. Page 1469
4. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal dalam buku Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV, Sudoyo, Aru. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006. hal 317
5. P Marco Fisichella, MD. Gastroesophageal Reflux Diseases. Emedicine.com. Feb 2007. http://www.emedicine.com/med/topic857.htm
6. Richter JE. Gastroesophageal Reflux Disease, in Yamada's Textbook of Gastroenterology 4th Ed, Yamada. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2003. page 1196

1 komentar:

  1. semoga bisa dijadikan sedikit referensi dlm mengerjakan tugas slm koas.......amin....klo ada saran atau masukan silahkan......terima kasih....

    BalasHapus