Entri Populer

Kamis, 26 Mei 2011

gastro esofageal refluk disease ( GERD )

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), merupakan gerakan membaliknya isi lambung (mengandung asam dan pepsin) menuju esophagus. GERD juga mengacu pada berbagai kondisi gejala klinik atau perubahan histology yang terjadi akibat refluks gastroesofagus. Ketika esophagus berulangkali kontak dengan material refluk untuk waktu yang lama, dapat terjadi inflamasi esofagus (esofagitis refluks) dan dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esofagus (esofagitis erosi).
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan pertambahan umur maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan pH pada esofagus, berkurang sehingga tingkat keparahan GERD dapat meningkat. Jenis kelamin dan genetik tidak berpengaruh signifikan terhadap GERD.
Faktor resiko GERD adalah kondisi fisiologis/penyakit tertentu, seperti tukak lambung, hiatal hernia, obesitas, kanker, asma, alergi terhadap makanan tertentu, dan luka pada dada (chest trauma). Sebagai contoh, pada pasien tukak lambung terjadi peningkatan jumlah asam lambung maka semakin besar kemungkinan asam lambung untuk mengiritasi mukosa esofagus dan LES.
PATOFISIOLOGI
Faktor kunci pada perkembangan GERD adalah aliran balik asam atau substansi berbahaya lainnya dari perut ke esofagus. Pada beberapa kasus, refluks gastroesofageal dikaitkan dengan cacat tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal bawah (lower esophageal sphincter/LES). Sfinkter secara normal berada pada kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi lambung dari perut, dan berelaksasi saat menelan untuk membuka jalan makanan ke dalam perut. Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh (a) relaksasi sementara LES secara spontan, (b) peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau (c) LES atonik.
Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti faktor anatomik, klirens esofageal (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal yang terlalu lama), resistensi mukosa, pengosongan lambung, epidermal growth factor, dan pendaparan saliva, juga dapat berkontribusi pada perkembangan GERD.
Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke esofagus termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas. Dengan demikian komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan adalah faktor yang paling penting pada penentuan konsekuensi refluks gastroesofageal.
TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala atipikal, dan gejala alarm.
1. Gejala tipikal (typical symptom)
Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah)
2. Gejala atipikal (atypical symptom)
Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.
3. Gejala alarm (alarm symptom)
Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, tersedak.
Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan dengan keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan penyakit yang nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang secara endoskopi menunjukkan adanya erosi esophagus.
DIAGNOSIS
Cara yang paling baik dalam diagnosa adalah dengan melihat sejarah klinis, termasuk gejala yang sedang terjadi dan faktor resiko yang berhubungan. Endoskopi tidak perlu dilakukan pada pasien yang mengalami gejala tipikal, terutama jika pasien merespon baik terhadap pengobatan GERD. Endoskopi dilakukan pada pasien yang tidak merespon terapi, pasien yang mengalami gejala alarm, atau pasien yang mengalami gejala GERD terus menerus. Selain endoskopi, tes yang sering digunakan untuk diagnosa adalah pengamatan refluksat ambulatori, dan manometri.
1. Endoskopi dilakukan untuk melihat lapisan mukosa pada esophagus, sehingga dapat diketahui tingkat keparahan penyakit (erosif atau nonerosif) dan kemungkinan komplikasi yang telah terjadi, karena memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa esofagus.
2. Pengamatan refluksat ambulatori meliputi pengamatan pH refluksat. Pengamatan ini berguna untuk mengetahui paparan asam yang berlebih pada mukosa esofagus dan menentukan hubungan gejala yang dialami dengan paparan asam tersebut. Pasien diminta untuk mencatat gejala-gejala yang dialami selama pengamatan pH sehingga dapat diketahui hubungan gejala dengan pH dan efektivitas pengobatannya.
3. Manometri esophageal digunakan untuk penempatan probe yang tepat dalam pengukuran pH dan untuk mengevaluasi peristaltik serta pergerakan esofagus sebelum operasi antirefluks. Metode ini mengukur tekanan pada lambung, LES, esofagus, dan faring.
TERAPI
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi.
Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa. Secara spesifik, yaitu:
1. Mengurangi keasaman dari refluksat.
2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.
3. Meningkatkan pengosongan lambung.
4. Meningkatkan tekanan LES.
5. Meningkatkan bersihan asam esofagus.
6. Melindungi mukosa esophagus.
Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:
Fase I: mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat pompa proton (PPI).
Fase II: intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.
Fase III: terpai intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).
TERAPI NON FARMAKOLOGI
1. Modifikasi Gaya Hidup
• Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal). Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
• Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol, karminativ (pepermint, dan spearmint))
• Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus (makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
• Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
• Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin 3 jam) (menurunkan volume lambung)
• Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
• Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
• Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus, gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
• Menghindari pakai pakaian yang ketat.
• Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat menurunkan tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin, dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin), nikotin (merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan teofilin).
• Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl, garam besi, aspirin, AINS dan alendronat).
2. Pendekatan Intervensi
Pembedahan Antirefluks
Intervensi bedah adalah alternatif pilihan bagi pasien GERD yang terdokumentasi dengan baik. Tujuan pembedahan antirefluks adalah untuk menegakkan kembali penghalang antirefluks, yaitu penempatan ulang LES, dan untuk menutup semua kerusakan hiatus terkait. Operasi ini harus dipertimbangkan pada pasien yang
• gagal untuk merespon pengobatan farmakologi;
• memilih untuk operasi walaupun pengobatan sukses karena pertimbangan gaya hidup, termasuk usia, waktu, atau biaya obat-obatan;
• memiliki komplikasi GERD (Barret’s Esophagus/BE, strictures, atau esofagitis kelas 3 atau 4); atau
• mempunyai gejala tidak khas dan terdokumentasikan mengalami refluks pada monitoring pH 24-jam.
Terapi Endoluminal
Beberapa pendekatan endoluminal baru untuk pengelolaan GERD baru saja dikembangkan. Teknik-teknik ini meliputi endoscopic gastroplastic plication, aplikasi endoluminal radiofrequency heat energy (prosedur Stretta), dan injeksi endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx pada penghubung gastroesofageal.
TERAPI FARMAKOLOGI
1. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat
Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif mengurangi gejala-gejala dalam waktu singkat, dan antasida sering digunakan bersamaan dengan terapi penekan asam lainnya. Pemeliharaan pH intragastrik di atas 4 dapat menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah enzim proteolitik. Netralisasi cairan lambung juga dapat mengarah pada peningkatan tekanan LES.
Produk antasid yang dikombinasikan dengan asam alginiat adalah agen penetral yang tidak ampuh dan tidak meningkatkan tekanan LES, namun membentuk larutan yang sangat kental yang mengapung di atas permukaan isi lambung. Larutan kental ini diperkirakan sebagai pelindung penghalang bagi kerongkongan terhadap refluks isi lambung dan mengurangi frekuensi refluks.
2. Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H2 (simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin)
Terapi penekanan asam adalah pengobatan utama GERD. Antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD ringan hingga sedang.
Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan GERD sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respons terhadap antagonis reseptor H2 tampaknya tergantung pada (a) keparahan penyakit, (b) regimen dosis yang digunakan, dan (c) durasi terapi.
3. Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol, pantoprazol, dan rabeprazol)
PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien GERD sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif esofagtis atau gejala komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosif yang mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan terapi pemeliharaan jangka panjang umumnya diindikasikan.
PPI memblok sekresi asam lambung dengan menghambat H+/K+-triphosphatase adenosin lambung dalam sel parietal lambung. Ini menghasilkan efek antisekretori yang mendalam dan tahan lama yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan selama lonjakan asam setelah makan.
PPI terdegradasi dalam lingkungan asam sehingga diformulasi dalam tablet atau kapsul pelepasan tertunda. Pasien harus diinstruksikan untuk meminum obat pada pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan untuk memaksimalkan efektivitas, karena obat ini hanya menghambat secara aktif sekresi pompa proton. Jika dosisnya dua kali sehari, dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam setelah dosis pagi hari dan sebelum makan atau makan makanan ringan.
4. Agen Promotilitas
Khasiat dari agen prokinetik cisaprid, metoklopramid, dan bethanechol telah dievaluasi dalam pengobatan GERD. Cisapride memiliki khasiat yang sebanding dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis ringan, tetapi cisaprid tidak lagi tersedia untuk penggunaan rutin karena efek aritmia yang mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan tertentu dan penyakit lainnya.
Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti cisapride, metoklopramid tidak memperbaiki bersihan esofagus. Metoklopramid dapat meredakan gejala GERD tetapi belum ada data substantial yang menyatakan bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus.
Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan antagonis H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah diketahui atau diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal pada pengobatan dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.
5. Protektan Mukosa
Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap, mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak direkomendasikan untuk terapi.
ALGORITMA TERAPI

GERD
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/Penyakit Refluks Gastroesofageal) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.
Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan keadan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan banyak, tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus.
Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang menghasilkan gejala heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks kandungan asam lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik, dan Barret’s esophagus dan gejala ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan batuk.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan atau aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3mmhg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor defensif dari esofagus yaitu pemisah antirefluks berupa tonus LES. Menurunnya tonus LES menyebabkan menurunnya kecepatan klirens asam sehingga apabila terjadi aliran retrograde transient akan ada cukup waktu untuk asam mengiritasi mukosa esofagus. Faktor defensif lainnya dari esofagus adalah ketahanan dari epitelial esofagus. Gejala klinis yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak pada epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang ada gejala disfagia, mual, atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Odinofagia ditemukan pada keadaan yang sudah berat. Batuk-batuk adalah gejala pernapasan umum yang muncul akibat aspirasi dari isi lambung ke dalam tracheobronchial atau dari refleks vagal yang mengakibatkan bronchokonstriksi. Gejala GERD biasanya perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang dapat mengancam nyawa pasien. Pemeriksaan Endoskopi UGI (Upper Gastrointestinal) merupakan golden standard untuk diagnosis GERD dengan ditemukan adanya mukosal break di esofagus. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, yaitu Grade A ditandai dengan adanya erosi dengan diameter <5mm,>5mm tapi tidak saling berhubungan, Grade C apabila lesi sudah konfluen namun tidak mengelilingi seluruh lumen, dan Grade D apabila lesi sudah mengelilingi mukosa esofagus. Pemeriksaan lainnya namun jarang dipakai yaitu esofagografi dengan barium, pemantauan pH 24 jam, Tes Bernstein, Manometri esofagus, Sintiagrafi gastroesofageal, dan tes penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI).
Target penatalaksanaan GERD adalah, menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
Jenis jenis obat yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD yaitu pertama adalah antasid yang berfungsi sebagai buffer terhadap HCl, obat ini juga dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Yang kedua adalah Antagonis H2 Reseptor (H2RA), yang bekerja menghambat reseptor H2 pada sel parietal yang akan menekan sekresi asam, contoh obat dari golongan ini yaitu Ranitidine, Cimetidine, dan Famotidine. Obat pilihan lainya yaitu Sukralfat, yang bekerja meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCL di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Pilihan lain dan yang merupakan drug of choice yaitu Proton Pump Inhibitor (PPI).PPI bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H K-ATPase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. PPI ini dianggap lebih efektif dibandingkan H2RA karena H2RA hanya menghambat sekresi asam basal dan sekresi yang distimulasi oleh makanan, sedangkan PPI menghambat sekresi asam basal, sekresi terstimulasi makanan, dan sekresi asam puasa (fasting acid secretion).
Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagus.
Referensi
1. American Society of Health-System Pharmacists. Ezomeprazole. Medline Plus Drug Information. 2007. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a699054.html
2. Goyal RK. Diseases of the Esophagus, in Harrison's Principles of Internal Medicine 15th Edition Volume 2, Braunwald. McGraw-Hill Professional. 2003. page 1642.
3. Katzung, Betram (ed). Drug Used in The Treatment of Gastroenterintestinal Diseases, in Basic & Clinical Pharmacology 9th Edition. McGraw-Hill Professional; 2004.E-book. Page 1469
4. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal dalam buku Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV, Sudoyo, Aru. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006. hal 317
5. P Marco Fisichella, MD. Gastroesophageal Reflux Diseases. Emedicine.com. Feb 2007. http://www.emedicine.com/med/topic857.htm
6. Richter JE. Gastroesophageal Reflux Disease, in Yamada's Textbook of Gastroenterology 4th Ed, Yamada. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2003. page 1196

mengenal flu singapura atau HFMD

MENGENAL FLU SINGAPURA ( Hand Foot and Mouth Disease )
.ILUSTRASI KASUS
Audi, berumur 2 tahun tiba-tiba tidak mau minum susu dari botol dan tidak mau makan. Bahkan anak saya sampai nangis menjerit-jerit kalau mau ditidurkan dan diberi susu botol. Ternyata di mulutnya timbul banyak sariawan. Beberapa hari kemudian, di kedua telapak kaki dan tangannya muncul bintil-bintil berisi air. Bisul itu semula kecil tetapi lama kelamaan bertambah besar. Bentuknya mirip seperti cacar air. Karena selama 3 hari tidak mau makan dan minum sama sekali akhirnya dirawat di rumah sakit dan didiagnosis terkena “flu Singapura”
.
PENDAHULUAN
• HFMD (Hand Foot Mouth Disease) atau KTM (Kaki tangan dan
Mulut) atau dahulu sering disebut “Flu Singapura” sebenarnya
adalah penyakit yang di dunia kedokteran dikenal sebagai Hand,
Foot, and Mouth Disease (HFMD) atau penyakit Kaki, Tangan dan
Mulut (KTM)
• Mengapa disebut flu singapura karena pertengahan September
tahun 2000, penyakit tangan, kaki dan mulut pernah merebak di
Singapura. Pemerintah Singapura bahkan sampai menganjurkan
agar seluruh restoran siap saji, kolam renang, dan tempat bermain
anak-anak ditutup sementara setelah tiga anak diberitakan
meninggal karena diduga terkena penyakit tersebut. Sebanyak 440
taman kanak-kanak (TK) dan 557 pusat perawatan anak diliburkan.
• Penyakit KTM ini adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
RNA yang masuk dalam famili Picornaviridae (Pico, Spanyol = kecil),
Genus Enterovirus ( non Polio ). Genus yang lain adalah Rhinovirus,
Cardiovirus, Apthovirus. Didalam Genus enterovirus terdiri dari
Coxsackie A virus, Coxsackie B virus, Echovirus dan Enterovirus.
QHSE TIPS no.18/IV/2009
Sent : Apr 2009
Penyebab
• Penyebab yang paling sering terjadi adalah Coxsackie A16,
• sedangkan yang sering memerlukan perawatan karena keadaannya
lebih berat atau ada komplikasi sampai meninggal adalah
Enterovirus 71.
• Berbagai enterovirus dapat menyebabkan berbagai penyakit.
EPIDEMIOLOGI:
• Penyakit ini sangat menular dan sering terjadi dalam musim panas.
• Merupakan penyakit umum atau biasa terjadi pada kelompok
masyarakat yang crowded dan menyerang anak-anak usia 2 minggu
sampai 5 tahun (kadang sampai 10 tahun).
• Orang dewasa umumnya kebal terhadap enterovirus.
• Penularannya melalui kontak langsung dari orang ke orang yaitu
melalui droplet, pilek, air liur (oro-oro), tinja, cairan dari vesikel atau
ekskreta. Penularan kontak tidak langsung melalui barang, handuk,
baju, peralatan makanan, dan mainan yang terkontaminasi oleh
sekresi itu.
• Tidak ada vektor tetapi ada pembawa seperti nyamuk atau lalat .
• Penyakit ini mempunyai imunitas spesifik, namun anak dapat terkena
KTM lagi oleh virus strain Enterovirus lainnya. Masa Inkubasi 2 - 5
hari.
MANIFESTASI KLINIS :
• Mula-mula demam tidak tinggi 2-3 hari,
• diikuti sakit leher (pharingitis), tidak ada nafsu makan, pilek, gejala
seperti flu pada umumnya yang tak mematikan.
• Timbul vesikel yang kemudian pecah, ada 3-10 ulcus di mulut seperti
sariawan (lidah, gusi, pipi sebelah dalam) terasa nyeri sehingga
sukar untuk menelan. Bersamaan dengan itu timbul rash/ruam atau
vesikel (lepuh kemerahan/blister yang kecil dan rata), papulovesikel
yang tidak gatal di telapak tangan dan kaki. Kadang-kadang
rash/ruam (makulopapel) ada di bokong.
• Penyakit ini membaik sendiri dalam 7-10 hari. Bila ada muntah, diare
atau dehidrasi dan lemah atau komplikasi lain maka penderita
tersebut harus dirawat.
Waspadai gejala dan tanda yang berbahaya, diantaranya
adalah :
• Hiperpireksia (suhu lebih dari 39 der. C).
• Demam tidak turun-turun (Prolonged Fever)
• Tachicardia (denyut jantung cepat)
• Tachypneu (sesak)
• Tidak mau makan, muntah atau diare sehingga kekurangan cairan
dehidrasi.
• Lethargi atau lemah dan kesadaran menurun
• Nyeri pada leher,lengan dan kaki.
• kejang.
Komplikasi
Dalam keadaan daya tahan tubuh yang sangat rendah atau
immunocomprimized dapat terjadi komplikasi yang berbahaya dan
mengancam jiwa. Namun hal ini sangat jarang terjadi, diantaranya
komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :
• Meningitis atau infeksi otak (aseptic meningitis, meningitis
serosa/non bakterial), Encephalitis (bulbar)
• Myocarditis atau gangguan jantungh (Coxsackie Virus Carditis) atau
pericarditiso Paralisis akut flaksid
beberapa penyakit yang juga disebabkan karena virus
sejenis ini adalah penyakit ini :
1. Vesicular stomatitis dengan exanthem (KTM) - Cox A 16, EV 71
(Penyakit ini)
2. Vesicular Pharyngitis (Herpangina) - EV 703. Acute Lymphonodular
Pharyngitis - Cox A 10
LABORATORIUM :
• Bahan pemeriksaan yang dapat diambil dari tubuh dapat diambil dari
tinja, usap rektal, cairan serebrospinal dan usap/swab ulcus di
mulut/tenggorokan, vesikel di kulit spesimen atau biopsi otak.
• Spesimen dibawa dengan Hanks Virus Transport. Isolasi virus
dencara biakan sel dengan suckling mouse inoculation. Setelah
dilakukan “Tissue Culture”, kemudian dapat diidentifikasi strainnya
dengan antisera tertentu / IPA, CT, PCR dll.
• Dapat dilakukan pemeriksaan antibodi untuk melihat peningkatan
titer.
• Diagnosa Laboratorium adalah sebagai berikut :
1. Deteksi Virus Immuno histochemistry (in situ) Imunofluoresensi antibodi
(indirek) Isolasi dan identifikasi virus. Pada sel Vero ; RD ; L
2. Uji netralisasi terhadap intersekting poolsAntisera (SCHMIDT pools)
atau EV-71 (Nagoya) antiserum.2. Deteksi RNA :RT-PCRPrimer : 5
CTACTTTGGGTGTCCGTGTT 35 GGGAACTTCGATTACCATCC
3. Partial DNA sekuensing (PCR Product)3. Serodiagnosis :Serokonversi
paired sera dengan uji serum netralisasi terhadap virus EV-71 (BrCr,
Nagoya) pada sel Vero.
Uji ELISA sedang dikembangkan. Sebenarnya secara klinis sudah cukup
untuk mendiagnosis KTM, hanya kita dapat mengatahui apakah
penyebabnya Coxsackie A-16 atau Enterovirus 71.
PENANGANAN :
• Istirahat yang cukup
• Pengobatan spesifik tidak ada
• Pengobatan simptomatik atau mengobati gejalanya , tidak perlu
pemberian antibiotika
• Antiseptik di daerah mulut
• Pemberian obat demam atau penghilang rasa sakit Analgesik misal
parasetamol
• Cairan cukup untuk dehidrasi yang disebabkan sulit minum dan
karena demam
• Pengobatan suportif lainnya
• Penyakit ini adalah dapat sembuh sendiri atau self limiting diseases.
• Biasanya akan membaik dalam 7-10 hari, pasien perlu istirahat
karena daya tahan tubuh menurun.
• Pasien yang dirawat adalah yang dengan gejala berat dan
komplikasi tersebut diatas.
• Pada penderita dengan kekebalan tubuh yang rendah atau neonatus
dapat diberikan : Immunoglobulin IV (IGIV), pada pasien
imunokompromis atau neonatus
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT:
• Penyakit ini diduga sering terjadi pada masyarakat dengan sanitasi
yang kurang baik. Tetapi tampaknya pada masyarakat menengah ke
atas dengan sanitasi yang baikpun masih sering terjadi.
• Sering terjadi penularan d tempat yang padat seperti sekolah.
• Kebersihan Higiene dan Sanitasi dengan memperhatikan kesehatan
lingkungan dan perorangan misal cuci tangan, desinfeksi peralatan
makanan, mainan, handuk yang memungkinkan terkontaminasi.
• Bila perlu anak tidak bersekolah selama satu minggu setelah timbul
rash sampai panas hilang.
• Pasien sebenarnya tak perlu diasingkan karena ekskresi virus tetap
berlangsung beberapa minggu setelah gejala hilang, yang penting
menjaga kebersihan perorangan.
• Di Rumah sakit “Universal Precaution” harus dilaksanakan.
• Penyakit ini belum dapat dicegah dengan vaksin (Imunisasi)

Selasa, 24 Mei 2011

Karsinoma Serviks

BAB I

PENDAHULUAN


Carcinoma cervix uteri atau yang juga sering disebut kanker serviks atau juga kanker mulut rahim merupakan tumor ganas gynekologi yang masih menduduki peringkat pertama di Indonesia dan menduduki peringkat kedua penyebab kematian pada wanita yang menderita kanker. Kejadian kanker seviks sangat tinggi di negara berkembang ( 20- 30%), di Asia Pasifik hampir tiap empat menit wanita meninggal karena kanker serviks, sementara di Negara barat hanya 4- 6 %.


Sementara menurut data Globocan (2002) setiap menit ada satu kasus baru di dunia, setiap dua menit satu kasus meninggal di dunia, setiap hari 40 kasus baru kanker mulut rahim terjadi di Indonesia, dan setiap hari 20 kasus meninggal dunia di Indonesia. Banyak pendapat yang mengatakan hal ini dikarenakan kesadaran yang kurang untuk melakukan deteksi dini terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Diagnosis tumor ganas pada serviks uteri tidaklah sulit, apalagi kalau tingkatannya sudah agak lanjut. Yang menjadi persoalan ialah bagaimana mendeteksi sedini mungkin, yakni waktu tumor masih prainvasif.
Pencegahan primer sulit dilakukan karena sebab biologis kanker servix belum diketahui, yang bisa dilakukan adalah menghindari faktor eksogen / ekstrinsik yang memberi resiko mengidap kanker leher rahim. Sedangkan pencegahan sekunder yang dapat menghindarkan seorang wanita dari karsinoma servix yakni dengan pemeriksaan sitologi ( pap smear ), kolposkopi, servikografi, IVA ( Inspeksi Visual Asam Asetat ), atau juga pemeriksaan HPV- DNA.

Karena kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan paling dapat disembuhkan dari semua jenis kanker, asalkan diketahui pada stadium dini maka diharapkan kita sebagai dokter mampu mendiagnosis sejak dini, atau juga mengarahkan pasien untuk memiliki kesadaran melakukan pemeriksaan, lebih jauh lagi, mampu melakukan tes sederhana untuk screening atau diagnosa awal.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


II. A UTERUS

Uterus terletak di pelvis mayor, antara kandung kencing di depan dan rektum di sebelah belakang , ditutupi oleh dua lembar peritoneum, yang disebelah kanan dan kiri membentuk ligamentum latum. Lipatan peritoneum di sebelah depan disebut plika vesicauterina, sedangkan di sebelah belakang membentuk kantong yang disebut excavation uterorectalis ( cul de sac ) atau cavum douglasi.
Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah peer ( sedikit gepeng ) dengan panjang 7- 7,5 cm, lebar di tempat yang paling lebar 5,25 cm, dimana uterus itu sendiri terdiri dari korpus uteri ( 2/3 bagian atas ) dan serviks uteri ( 1/3 bagian bawah ). Kedua bagian ini dipisahkan oleh suatu penyempitan yang disebut isthmus, dimana pada waktu hamil isthmus ini membentuk bangunan yang disebut segmen bawah rahim.

Serviks uteri merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak di bawah isthmus, di anterior batas atas serviks adalah os interna, terletak kurang lebih setinggi pantulan peritoneum pada kandung kemih. Berdasarkan perlekatannya pada vagina, serviks terbagi atas segmen vaginal dan supravaginal. Permukaan posterior segmen supravaginal tertutup peritoneum. Di bagian lateral serviks menempel pada ligamentun kardinale, dan di bagian anterior dipisahkan dari kandung kemih yang menutupinya oleh jaringan ikat longgar. Os eksterna terletak pada ujung bawah segmen vaginal serviks, yaitu portio vaginalis.


Hal yang penting untuk diketahui mengenai serviks uteri, berkaitan dengan kanker serviks adalah histology dari epitel di serviks uteri, dimana terdapat zona transisi yang disebut Squamo- Columnar Junction ( SCJ ).

Epitel yang melapisi ektoserviks ( porsio ) adalah epitel squamous complex atau epitel gepeng berlapis, sedangkan endoserviks dilapisi epitel kuboid atau silindris bersilia. Pada wanita muda ( < 35 th ), SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita yang berumur > 35 th, SCJ ini berada di dalam kanalis serviks.

II. B KANKER SERVIKS ATAU KANKER LEHER RAHIM
Kanker leher rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah leher rahim (serviks), yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dan liang senggama (vagina).
Merupakan salah satu jenis kanker yang dapat dicegah dan paling dapat diobati atau disembuhkan asalkan diketahui pada stadium dini, dan juga merupakan kanker urutan kedua terbanyak pada perempuan di dunia. Dialami > 1,4 juta wanita dan sering dalam keadaan terlambat, > 460.000 kasus per tahun dan fatal karena menyebabkan kematian pada 50 % kasus.

II. B. 1. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Sebab langsung penyebab kanker serviks belum diketahui, namun ada beberapa faktor predisposisi yang diduga kuat menjadi pemicu ( triger factor terjadinya kanker serviks, yaitu :
a. Infeksi virus HPV ( Human Papiloma Virus ) 16 dan 18 yang onkogenik pada saluran reproduksi perempuan
b. Menikah dan melakukan hubungan seksual pertama pada usia muda (< 20 th )
c. Multiparitas ( banyak anak )
d. Promiskuitas ( sering berganti- ganti pasangan ), ditambah lagi dengan pria yang tidak melakukan cicumcici ( sunat )
e. Gangguan sistem kekebalan tubuh
f. Hygiene buruk, kondisi sosial ekonomi rendah, kurang gizi
g. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia yang menahun
h. Merokok
i. Teori baru ( masih dalam penelitian ) mengatakan ada kaitannya dengan sperma
II. B. 2. PATOFISIOLOGI
• Tahap I : proses inisiasi (adanya bahan2 pencetus timbul proses penyakit kanker)
• Tahap II : proses promosi (perubahan sehingga timbul permulaan kanker
• Tahap III : Tahap progresif (pertumbuhan tumor)
II. B. 3. GAMBARAN KLINIS
Pada awalnya ( yang disebut lesi pra kanker ) tidak ditemukan gejala atau asimptomatis, sehingga tidak akan terdeteksi kecuali wanita tersebut menjalani pemeriksaan panggul atau yang lain. Gejala biasanya baru muncul setelah terjadi keganasan, hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sering perempuan datang sudah dalam kondisi yang buruk.
Pada saat ini ( keganasan ) dapat timbul gejala :
 gangguan menstruasi,
 perdarahan pervaginam setelah senggama,
 leukorhea atau keputihan dan keluar cairan berbau, berwarna kekuningan juga bercampur darah
Dan jika berkembang terus menjadi lebih ganas, maka dapat timbul gejala nyeri panggul, punggung dan tungkai, keluar air kemih dan tinja dari vagina akibat terbentuknya fistel rectovaginal dan vesikovaginal.

II. B. 4. DIAGNOSA
a. IVA (Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat )
Adalah pemeriksaan mikroskopis terhadap sel- sel yang diperoleh dari apusan leher rahim dengan menggunakan asam asetat.
Kelebihan :
 Akurasi tes IVA pada beberapa penelitian terbukti cukup baik
 Sensitivitas setara dengan pap smear untk mendeteksi lesi derajat tinggi, bahkan bisa dikatakan lebih sensitiv dibanding pap smear
 Pelatihan IVA untuk tenaga medis lebih cepat dan sederhana dibandingkan sitoteknisi
 Hasil pemeriksaan dapat segera diketahui
 Biaya murah dan sederhana
 Dapat dikerjakan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas
 Dapat dikerjakan kapan saja, tidak memerlukan persiapan pasien
Kekurangan :
 Spesifisitas lebih rendah dari tes Pap Smear ( positif palsu lebih tinggi )
 Kemampuan yang amat terbatas untuk mengetahui lesi endoserviks
b. Pap Smear
Adalah pemeriksaan mikroskopis terhadap sel- sel yang diperoleh dari apusan leher rahim
Kelebihan :
 Sampel yang diperoleh lebih memuaskan :
 Pada preparasi secara konvensional à sebagian sel leher rahim tertinggal pada sikat à hasil negatif palsu
 Pada preparasi berbasis cairan, semua sel leher rahim terkumpul dalam tabung berisi cairan (95% vs 20-30%)
 Preparat (obyek yang diperiksa) lebih jelas dan hasil lebih akurat
 Sel dan faktor pengganggu dipisahkan
 Lapisan sel pada slide tidak bertumpuk
 Preparat lebih jelas
 Hasil pemeriksaan lebih akurat
 Tidak menimbulkan rasa nyeri
Kekurangan:
 Lebih rumit dibandingkan IVA test
 Memerlukan biaya yang lebih besar


c. Servikografi
Adalah pemeriksaan dengan melakukan pembesaran foto serviks dengan alat khusus ( serviskop ) setelah dipulas dengan asam asetat 3 %.
d. Kolposkopi
Adalah pemeriksaan dengan melihat kondisi leher rahim secara langsung dengan menggunakan alat yang disebut kolposkop
Keuntungan ; dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan ; hanya dapat memeiksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelianan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.


e. Biopsi
Adalah pengambilan sampel jaringan leher rahim untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop
f. Pemeriksaan HPV DNA
Adalah Pemeriksaan molekuler dengan metode “hybrid capture” untuk mendeteksi adanya DNA Human Papiloma Virus tipe “high risk” pada sampel yang diambil dari serviks. Ada 13 jenis HPV tipe “high risk” yang dapat dideteksi yaitu 16,18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68. Namun yang berkaitan secara langsung dengan kanker serviks adalah HPV 16 dan 18.


II.B. 5.KLASIFIKASI
Klasifikasi pertumbuhan sel kankers serviks :
Mikroskopis

1.Displasia
Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi pada dua pertiga epidermihampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.
2.Stadium karsinoma insitu
pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks, peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.
3.Stadium karsinoma mikroinvasif.
Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrana basalis, biasanya tumor ini asimtomatik danhanya ditemukanpadaskriningkanker.
4.Stadium karsinoma invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan meluas ketiga jurusan yaitu jurusan forniks posterior atau anterior, jurusan parametriumdankorpusuteri.
5.Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kool, tumbuh kearah vagina dan dapat mengisi setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina, bentuk pertumbuhan ini mudahnekrosisdanperdarahan.
Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium.
Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambatlaun lesi berubahbentukmenjadiulkus.
Markroskopis
1. Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa
2. Stadium permulaan
Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum
3. Stadium setengah lanjut
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio
4. Stadium lanjut
Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.

II.B. 6. PENYEBARAN
Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju tiga arah, yaitu:
 Ke arah forniks dan dinding vagina
 Ke arah korpus uteri
 Ke arah parametrium dan pada tingkat lanjut menginfiltrasi septum rectovaginal dan kandung kemih
II. B. 7. PENCEGAHAN
Primer :
• Imunisasi HPV dan
• Edukasi ( Hindari faktor resiko ),
• juga pola hidup sehat ( termasuk di dalamnya konsumsi nutrisi pencegah kanker / antioksidan ).
Sekunder :
• Deteksi dini
Jika berusia kurang dari 21 tahun:
Skrining dilakukan 3 tahun setelah hubungan seksual pertama, apabila hasilnya normal selanjutnya dilakukan setahun sekali
Jika berusia antara 21-30 tahun:
Skrining dilakukan setiap tahun atau sesuai dengan saran Dokter apabila terdapat hasil yang tidak normal
Jika berusia diatas 30 tahun :
Pemeriksaan dilakukan setiap tahun dan dianjurkan selain Pap smear adalah HPV DNA, karena pada usia diatas 30 tahun risiko infeksi HPV menetap (persisten) meningkat.
• Deteksi petanda tumor
Petanda tumor adalah zat-zat yang secara khusus diproduksi oleh sel kanker dan dilepaskan ke dalam darah atau cairan tubuh dalam jumlah yang dapat dideteksi. Antigen sebagai petanda tumor ini dapat diukur dengan pemeriksaan imunologik dan secara hipotetik kadarnya sebanding dengan populasi sel ganas atau besarnya massa tumor. Sampai batas tertentu, petanda tumor ini dapat dipakai untuk penapis diagnosis, penentuan prognosis, penentuan stadium dan klasifikasi tumor.
Sintesis dan Sekresi Petanda Tumor. Petanda tumor merupakan produk sel-sel tubuh sebagai respons terhadap proses keganasan. Setelah disintesis dan diproduksi, petanda tumor ini akan dilepaskan ke dalam peredaran darah, cairan dan jaringan tubuh sehingga secara kuantitatif (biokimiawi maupun imunokimiawi) kadarnya dapat diperiksa.
Kegunaan Petanda Tumor. Dengan perkembangan metodologi pemeriksaan dan makin spesifiknya antibodi monoklonal yang dipakai, dewasa ini telah banyak petanda tumor yang ditemukan. Petanda tumor ini dapat digunakan untuk:
1. Deteksi dini atau uji saring untuk kanker primer

2. Diagnosis

3. Menentukan tingkat keganasan sebelum dilakukan terapi

4. Deteksi adanya kekambuhan dan metastasis

5. Evaluasi prognosis

6. Pemantauan respons terhadap terapi
Waktu Pemeriksaan Petanda Tumor. Dewasa ini pemeriksaan petanda tumor telah diterima secara luas sebagai piranti yang sangat penting untuk pemantauan terapi maupun untuk menentukan adanya kekambuhan.
Untuk memperoleh hasil yang optimal pada penggunaan petanda tumor, maka pemeriksaan harus ditentukan tepat waktu secara klinis dan diperiksa dengan memakai metode yang mempunyai koefisien variasi (KV) yang cukup kecil, sehingga pada waktu diagnosis maupun pemantauan terapi, dimana diperlukan pemerikasaan secara seri, dapat diandalkan artinya kenaikan atau penurunan hasil dapat menggambarkan keberhasilan terapi atau menunjukkan adanya kekambuhan dan bukan karena variasi hasil pemeriksaan itu sendiri.
Pemeriksaan pertama harus dilakukan sebelum operasi atau sebelum terapi dimulai dan pemeriksaan berikutnya harus dilakukan sebelum penderita meninggalkan rumah sakit. Sebab penanganan selanjutnya tergantung dari hasil pemeriksaan ini.
Jenis Petanda Tumor adanya keterbatasan sensitivitas dan spesifitas petanda tumor menyebabkan orang berusaha meningkatkannya dengan menggunakan kombinasi petanda tumor (panel petanda tumor) dan banyak penelitian telah membuktikan adanya peningkatan sensitivitas dengan kombinasi ini.
Disamping itu interpretasi petanda tumor tunggal amat sulit, mengingat fakta bahwa pada tipe histologik yang berbeda maupun organ yang berbeda, suatu tumor bervariasi dalam mengeluarkan produknya atau yang berkaitan dengan proses keganasan.
II. B. 8. TERAPI
Terapi kanker serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara histologis dan sesudah dilakukan perencanaan yang matang. Dimana pengobatannya ditentukan oleh berat ringannya penyakit atau stadium dari penyakit.
Untuk stadium awal, tindakan operasi merupakan pilihan pertama. Pilihan pengobatan yang lain berupa terapi penyinaran, terapi biologis dan kemoterapi, yang dilakukan pada kasus- kasus yang sudah lanjut. Pada beberapa kasus mungkin juga dilakukan histerektomi, yaitu suatu prosedur untuk mengangkat rahim secara total.
Selain pemilihan cara pengobatan berdasarkan berat ringannya penyakit, juga harus diperhatikan efek samping dari masing- masing cara pengobatan. Terapi penyinaran misalnya, dapat menyebabkan iritasi pada vagina dan rektum, kerusakan pada kandung kemih dan terganggunya fungsi indung telur.
Kemoterapi dapat menyebabkan terjadinya kerontokan rambut, gangguan pencernaan, mudah mengalami infeksi, dan perdarahan.
Terapi kanker serviks terdiri dari :
a. Pembedahan
Histerektomi total pada stadium 1A1 dan 1A2 bila fungsi organ tidak diperlukan lagi sekaligus pengangkatan puncak vagina. Histerektomi radikal limfadenektomi pelvik bilateral dilakukan pada stadium 1B dan IIA.
b. Radioterapi
Radioterapi pada karsinoma serviks dibedakan atas tujuan kuratif dan paliatif. Tujuan pengobatan kuratif ialah mematikan sel-sel ganas pada serviks uteri dan yang menjalar pada jaringan parametrium serta kelenjar getah bening pelvis dengan tetap mempertahankan keutuhan jaringan sehat disekitarnya.
c. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan yang bersifat adjuvant atau paliatif. Sel yang aktif membelah dengan fraksi pertumbuhan besar akan lebih sensitif terhadap obat-obatan sitostatika daripada tumor dengan fraksi pertumbuhan yang kecil. Obat-obatan sitostatika bekerja pada salah satu atau beberapa fase dari siklus sel sehingga memerlukan pengobatan yang berulang.
Thigpen dkk (1981), Bonomi dkk (1985) melaporkan mengenai penggunaan kemoterapi tunggal pada karsinoma serviks yang rekuren dimana didapatkan adanya respon perbaikan sebesar kira-kira 30% (dikutip dari Moris M). Sedangkan Belinson dkk (1989), Carlson dkk (1984), Jobson dkk (1984) melaporkan bahwa kemoterapi kombinasi akan menambah perbaikan respon kemoterapi dibandingkan pemakaian kemoterapi tunggal dalam hal ini Cisplatin saja.
Penggunaan Cisplatin yang dikombinasi dengan obat kemoterapi lainnya akan memberikan perbaikan respon sebesar 30-50%. Vogh dkk (1980) melaporkan adanya respon perbaikan sebesar 77% dengan kombinasi pemakaian Mitomycin-C, Vincristin, Bleomycin dan Cisplatin.
.II. B 9 ANGKA KETAHANA HIDUP 5 TAHUN
T1S  Hampir 100%
T1  70- 85 %
T2  40-60 %
T3  30-40 %
T4  < 10 %

BAB III
KESIMPULAN

Kanker serviks adalah masalah yang serius di negara kita, bukan karena keganasannya, namun sering karena keterlambatan dalam diagnosisnya. Karena itu perlu disosialisasikan lagi mengenai program deteksi dini kanker servik, karena hanya dengan cara ini kita bisa menurunkan angka kematian karena kanker servik.
Melakukan skrining secara berkala pada usai tertentu dapat membantu mengurangi angka kejadian di negara kita. Karenanya kita sebagai dokter, terutama dokter umum yang akan banyak menangani di masyarakat perlu mengetahui hal ini secara mendalam.


DAFTAR PUSTAKA
s

• Cuningham, FD et all, 2005. Williams Gynekologi. Edisi 21.
• Eka, Rina, dr. Kanker Serviks.
• Prawiroharjo, sarwono. Ilmu Kandungan. 2005. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
• Pitkin, Joan and Peattie Alison. Obstetrica and Gynaecology. An Ilustrated Colour Text.2003. Churchill Livingstone.
• Moegni, E. M (2005 ) ” Peran Servikografi sebagai upaya meningkatkan akurasi tes pap dalam deteksi dini lesi prakanker serviks ”
• Norwitz, Errol. Obstetrics and Gynecology at a Glance. Oxford, 2001.
• Octaviyanti, Dwiana dr Sp OG. Berbagai teknik deteksi dini kanker leher rahim dan payudara. Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI. 2009.
• www. Kankerskrrening.gov.au

makalah twin to twin tranfusion syndrom (TTTS)

BAB I
PENDAHULUAN
Twin to twin transfusion syndrome atau Transfusi Feto-Fetal Syndrome ( FFTS ) atau juga Twin Oligohidramnios-Polyhydramnios Sequence ( TOPS ) atau juga sindrom transfusi antar kembar pertama kali dideskripsikan oleh seorang dokter spesialis kandungan dari Jerman yang bernama Friedrich Schatz, pada tahun 1875.
Sindrom ini terjadi di sekitar 5,5-17,5% dari semua kehamilan monokorionik. Berdasarkan data CDC tahun 2003, insiden teoretis TTTS akan kasus 1,38-1,86 dalam setiap 1.000 kelahiran hidup atau sekitar 7.500 kasus di dekat setiap tahun di Amerika Serikat. Salah satu studi Australia, bagaimanapun, mencatat suatu kejadian hanya 1 dari 4.170 kehamilan atau 1 dalam 58 kehamilan kembar. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh pihak “kematian tersembunyi” yang berhubungan dengan kehamilan multifetal MC – contoh hilang akibat pecahnya membran terlalu dini ( PROM ) atau kematian janin intrauterin sebelum diagnosis menyeluruh TTTS dapat dibuat. ( Betina, Paek 2005 )
Komunikasi transfusi antar kembar biasanya hanya terdapat di plasenta monokorionik ( Baldwin, 1991 ;Robertson dan Neer, 1983 ). Hampir 100 persen plasenta monokorionik memiliki anastomosis vaskular, tetapi jumlah ukuran dan arah komunikasi yang tampaknya “ acak- acakan “ ini sangat bervariasi. Anastomosis arteri ke arteri di permukaan korionik plasenta dilaporkan terdapat pada 75 persen plasenta monokorionik dan merupakan pola tersering. Komunikasi vena ke vena dan arteri ke vena masing – masing ditemukan pada sekitar 50 persen plasenta yang serupa.
Sebagian besar komunikasi vaskular secara hemodinamis seimbang dan tidak banyak berefek pada janin. Namun, walaupun jarang, komunikasi ini dapat menyebabkan pirau antar janin yang bermakna secara hemodinamis. Terdapat dua pola sirkulasi anastomotik yang secara hemodinamis penting yaitu pembentukan kembar akardiak dan sindrom transfusi antar kembar. Insiden sindrom transfusi antar kembar masih belum diketahui, tetapi sekitar seperempat kembar monokorionik memperlihatkan sebagian gambaran sindrom ini. ( Williams, 2007 )


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN ETIOLOGI
Dalam Tereence Zach (2007 ) TTTS adalah sebuah kondisi dimana donor kembar mengalirkan darah ke dalam sirkulasi penerima kembar. Kembar donor menjadi anemia, hipovolemik dan kekurangan atau kehilangan cairan ketuban, sementara kembar penerima menjadi hydrops.
Sebagai hasil dari berbagi satu plasenta, darah pasokan monokorionik janin kembar dapat menjadi terhubung, sehingga mereka memiliki sirkulasi darah, yang meskipun masing-masing janin menggunakan bagian sendiri plasenta, penghubung pembuluh darah di dalam plasenta memungkinkan darah untuk lulus dari satu kembaran ke yang lain. ( Reyes, Jacqueline )
Tergantung pada jumlah, jenis dan arah yang saling berhubungan dari pembuluh darah ( anastomosis ) . Darah dapat ditransfer secara tidak proporsional dari satu kembar ("donor") kepada yang lain ("penerima"). Transfusi kembar menyebabkan volume darah menurun untuk donor, sehingga memperlambat perkembangan donor dan pertumbuhan, dan juga penurunan urin output, mengarah ke lebih rendah dari tingkat normal, cairan ketuban menjadi Oligohidramnion. ( Machin GA, 1996 )
Volume darah kembar penerima meningkat, yang dapat mengakibatkan regangan jantung janin dan akhirnya menyebabkan gagal jantung, dan juga lebih tinggi dari biasanya keluaran urin, yang dapat mengakibatkan kelebihan cairan ketuban (menjadi polyhydramnion). Pada awal kehamilan (sebelum 26 minggu), dapat menyebabkan baik TTTS janin mati, atau menyebabkan parah cacat. (Shaunder NJ, 1991 )
Jika TTTS berkembang setelah 26 minggu, bayi-bayi biasanya dapat hidup dan memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup tanpa cacat. Selain membutuhkan monokorionik-diamniotik kembar pada kehamilan, penyebab TTTS tidak dikenal, dan tidak bersifat herediter.
B. DIAGNOSIS

I. KLINIS ( C Berg, 2002 )
Seorang ibu yang kembar TTTS dapat mengalami atau merasakan (subjektif) :
• Sensasi pertumbuhan yang lebih cepat
• Ukuran rahim yang lebih besar untuk ukuran usia kehamilan yang seharusnya
• Nyeri perut, sesak, atau kontraksi
• Kenaikan berat badan yang tiba- tiba
• Pembengkakan di tangan dan kaki pada awal kehamilan

II. RADIOLOGIS
Diagnosis transfusi kembar-kembar sindrom dibuat dengan mencari beberapa fitur ( Sharma S, 1995 ) berikut:
• Monokorionik plasenta, dengan visualisasi dari membran yang memisahkan
• Janin yang berjenis kelamin sama
• Mid-trimester Oligohidramnions polyhydramnions-urutan (polyhydramnions di kantung penerima dan Oligohidramnions di kantung donor), tanpa adanya penyebab lain dari volume cairan ketuban yang abnormal.
• Perpecahan dalam ukuran, dengan kembar yang lebih besar dalam kantung dan polyhydramnions terjebak lebih kecil terhadap dinding rahim.
• Berat kejanggalan bayi yang sama atau lebih dari 20%.
• Non-visualisasi dari kandung kemih donor dengan penerima diperbesar kandung kemih.
• Abnormal Doppler S / D rasio pada tali pusat. Akhir diastolik yang tidak hadir mengalir dalam arteri umbilikalis donor disertai oleh denyut vena dalam vena umbilikalis penerima biasanya dihubungkan dengan prognosis yang buruk.
• Hydrops atau bukti kegagalan jantung kongestif . Tanda-tanda ini ditemukan lebih sering pada kembar penerima.
• USG otak bayi: Karena iskemia otak dapat terjadi selama perkembangan janin baik atau penerima donor kembar, otak USG harus dipertimbangkan dalam kedua bayi kembar lahir dengan TTTS. Kembar lahir prematur rentan terhadap intraventricular pendarahan dan periventricular leukomalacia.
• Neonatal echocardiography: disfungsi miokard, hipertrofi miokard, insufisiensi katup, dan perikardial efusi dapat dideteksi dalam kedua kembar.
• USG ginjal neonatal: abnormal ginjal echogenicity mungkin ada dalam kedua kembar dan hipoksia-iskemik menunjukkan nekrosis kortikal.
• USG perut bayi: asites mungkin hadir jika hydrops fetalis terjadi.
• Neonatal dada radiography: efusi pleura dan cardiomegaly mungkin hadir jika hydrops fetalis terjadi.

III. LABORATORIS ( Tereence Zach, 2007 )
• Amniosentesis harus dipertimbangkan untuk menguji aneuploidi dan infeksi rahim.
• CBC count: Para donor kembar sering menderita anemia pada saat lahir, sedangkan penerima kembar sering polycythemic saat lahir.
• Kalsium: Hypocalcemia sering hadir dalam donor kembar.
• Glukosa: Hipoglikemia mungkin ada dalam kedua kembar.
• Kreatinin: Entah kembar mungkin memiliki bukti disfungsi ginjal.
• Platelet count: Trombositopenia dapat terjadi di kedua kembar.
• Bilirubin: Hyperbilirubinemia dapat berkembang dalam penerima polycythemic kembar.
C. STAGING Menurut Quintero RA (1999 )


Tahap
Oligohidramnios /
Polyhydramnios Absen Urine di Donor Bladder Aliran Darah abnormal Doppler Hydrops Fetalis Fetal Demise
I
+
--
--
--
--

II
+
+
--
--
--

III
+
+
+
--
--

IV
+
+
+
+
--

V
+
+
+
+
+



D. PROGNOSIS
Hasil tergantung pada usia kehamilan pada saat kelahiran dan apakah iskemia otak janin intrauterin terjadi. Semakin rendah saat lahir usia kehamilan semakin besar risiko lama sequele neurologis atau paru-paru. Mengejar pertumbuhan postnatal terjadi di sebagian besar donor yang lebih kecil kembar.

E. PATOGENESIS
Ada beberapa factor yang mempengaruhi patofisiologi terjadinya TTTS menurut Bajoria, Rekha(1998 ) , yakni:
1. Tipe dan jumlah dari anstomosis yang ada ( Machin et all, 1996), juga dipengaruhi letak yang sangat bergantung pada ukuran zona plasenta dan insersi tali pusat (sentral, eksentrik, marginal, velamentosa)
2. Tekanan yang abnormal pada insersi dari umbilical cord ( Fries et al,1993)
3. Insufisiensi aliran uteroplasenta ( Saunders et al, 1992 )
Teori yang banyak difahami adalaha bahwa transfusi darah dari donor kepada penerima kembar terjadi melalui anastomosis vaskular plasenta. Dimana koneksi vaskuler antar janin kembar terdiri dari 2 tipe, yaitu: Pertama tipe superficial dan kedua tipe profunda. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik aliran, pola resistensi tersendiri yang mempengaruhi pertumbuhan janin kembar monokorionik.
Koneksi tipe superficial seperti arterioarteriosa (a↔a); venovenosa (v↔v). Gambaran ini terlihat jelas pertemuannya di atas lempeng korion, dimana hubungan ini jarang menimbulkan antenatal TTS. Justru hubungan ini akan melindungi supaya tidak berkembang menjadi TTS. Koneksi arterioarteriosa lebih sering dibanding koneksi venavenosa.
Dalam Shandra Rajene, 1999 Koneksi arterioarteriosa dan venavenosa memberikan pembagian darah yang seimbang pada kedua janin dan tidak ada anastomosis arteriovenosa. Koneksi tipe profunda atau sirkulasi ketiga bersifat arteriovenosa (a-v) dimana salah satu janin bersifat sebagai donor dan janin yang lain sebagai resipien. Anastomosis ini tidak tampak pada lempeng korionik dikarenakan adanya perbedaan tekanan (gradien) yang terjadi pada sirkulasi tersebut. Anastomosis ini jarang terjadi, kebanyakan jika terjadi anastomosis arteriovenosa diikuti dengan anastomosis arterioarteriosa yang melindungi terjadinya sirkulasi ketiga. Karena sirkulasi menghasilkan keseimbangan dinamis dimana disamping terjadinya penurunan tekanan donor juga terjadi peningkatan resipien.

Gambar K Dalkowski, with permission of Karl Storz Endoskope.

F. KOMPLIKASI
Yang dapat terjadi pada bayi dengan TTTS :
• Sequelae neurologis
o Intrauterine matinya satu kembar dapat mengakibatkan sequelae neurologis kembar yang masih hidup.
o Exsanguination akut kembar yang selamat ke sirkulasi santai kembar almarhum dapat mengakibatkan iskemia SSP intrauterin.
Yang dapat terjadi pada ibu adalah maternal mirror syndrome


G. TERAPI ( Tereence Zach, 2007 )
Prosedur yang paling umum untuk mengobati TTTS adalah amniosentesis. Prosedur ini melibatkan pengeringan cairan ketuban dari seluruh penerima kembar. Prosedur ini dapat memperbaiki sirkulasi dalam donor kembar.
Laser Fetoscopic chorionic photocoagulation dari pelat kapal adalah prosedur yang sangat khusus dilakukan di beberapa pusat di seluruh dunia.
Ada beberapa terapi yang berbeda digunakan untuk mengobatis TTTS, dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Tertua, sebagian besar pengobatan tradisional adalah melalui serial amniosentesis, yang melibatkan secara periodik cairan ketuban mengalir dari seluruh penerima kembar dalam upaya untuk mengurangi tekanan dari cairan ketuban. Karena amniosentesis serial meningkatkan risiko kelahiran prematur, itu memiliki keterbatasan kesuksesan bila dilakukan di awal kehamilan, terutama sebelum kelangsungan hidup janin.
TTTS juga dapat diobati dengan pembedahan selama kehamilan, menggunakan fetoscopy untuk menemukan interkoneksi pembuluh darah, dan sebuah laser sinar untuk mengentalkan darah di pembuluh tersebut, menghalangi mereka. Hal ini disebut ablasi laser fetoscopic, dan hanya dilakukan di beberapa rumah sakit di seluruh dunia. Hasil bervariasi dari kasus ke kasus, tetapi sebagai keseluruhan tulisan ini statistik menunjukkan fetoscopic ablasi laser 90% peluang bahwa setidaknya satu kembar akan bertahan dan 70% untuk keduanya.

Gambar K Dalkowski, with permission of Karl Storz Endoskope.Illustration of a fetoscopic laser treatment. A cannula has been placed through the abdominal wall, through which a scope and laser beam has been passed. The connecting vessels are identified and subsequently destroyed.
Perawatan dipraktekkan di seluruh dunia saat ini adalah sebagai berikut Mereka dapat ditempatkan dalam tiga kategori yang berbeda, yaitu :
1. Non-perawatan
2. pengobatan melalui penyesuaian cairan ketuban
3. dan pengobatan melalui penyesuaian pasokan darah
1. Non-Perawatan
Adalah dengan manajemen kehamilan, ini sama dengan nol intervensi. Ini telah dikaitkan dengan hampir 100% angka kematian satu atau semua janin. Pengecualian ini mencakup pasien yang masih dalam Tahap I TTTS dan sudah melewati 22 minggu kehamilan.
2. Pengobatan melalui penyesuaian cairan ketuban
Serial Amniosentesis , dimana prosedur ini melibatkan penghapusan cairan ketuban secara berkala selama kehamilan di bawah asumsi bahwa cairan ekstra di kembar penerima dapat menyebabkan persalinan prematur, kematian perinatal, atau kerusakan jaringan. Dalam kasus dimana tidak terjadi akumulasi cairan, pengurangan menstabilkan cairan ketuban kehamilan. Kalau tidak, pengobatan diulang jika perlu. Tidak ada prosedur standar untuk berapa banyak cairan akan dihapus setiap kali. Ada bahaya bahwa jika terlalu banyak cairan akan dihapus, kembar penerima bisa mati. Prosedur ini dikaitkan dengan 66% survival rate dari setidaknya satu janin, dengan 15% kesempatan untuk cerebral palsy dan pengiriman rata-rata terjadi pada 29 minggu kehamilan.

Reduction Amniocentesis ( Senat MV , 2004 )
Septostomy merupakan prosedur yang melibatkan robeknya membran pemisah antara janin sehingga cairan ketuban dari kedua kembar bersatu, hal ini berdasarkan asumsi bahwa tekanan yang berbeda baik dalam kantung ketuban dan bahwa keseimbangan akan memperbaiki perkembangan penyakit. Penggunaan prosedur ini dapat mencegah penggunaan prosedur lain serta membuat sulit pemantauan terhadap perkembangan penyakit.

3. Pengobatan melalui penyesuaian pasokan darah
Terapi laser endoskopik , dimana prosedur ini melibatkan operasi menggunakan laser untuk memotong pembuluh yang memungkinkan pertukaran darah antara janin di bawah, dengan asumsi bahwa berbagi tidak setara darah melalui komunikasi vaskular ini mengarah ke tingkat yang tidak seimbang cairan ketuban. Setiap janin tetap terhubung ke sumber utamanya darah dan nutrisi, plasenta, melalui tali pusat.
Prosedur ini dilakukan sekali, dengan pengecualian tidak semua anastomosis yang telah ditemukan. Penggunaan alat endoskopik memungkinkan untuk waktu pemulihan yang singkat. Prosedur ini telah dikaitkan dengan 85% kemampuan untuk bertahan janin dari setidaknya satu janin, dengan 5% risiko cerebral palsy dan pengiriman rata-rata terjadi pada 33-39 minggu kehamilan.
Umbilical Cord Occlusion, dimana prosedur ini melibatkan ligasi atau oklusi dari tali pusat untuk mengganggu pertukaran darah antara janin. Prosedur tersebut biasanya ditawarkan dalam kasus di mana salah satu janin diduga hampir mati dan membahayakan kehidupan atau kesehatan kembar lain melalui resultan hipotensi. Penggunaan perawatan ini telah menurun seiring dengan TTTS diidentifikasi dan dirawat di tahap-tahap awal dan dengan hasil yang lebih baik

Selective Cord Coagulation

BAB III
KESIMPULAN

Twin to Twin Transfusion syndrome atau sindrom tranfusi antar kembar terjadi hanya pada kembar monokorionik, dimana etiologi dari sindrom ini belum diketahui. Tidak bersifat herediter dan tidak disebabkan atau dipengaruhi kebiasaan si ibu saat hamil.
Diagnosis yang cepat dan tepat di trimester awal kehamilan sangat membantu dalam penanganan, dimana diperlukan pemeriksaan yang detail untuk dapat mendiagnosanya. Tidak hanya dari gejala klinis yang tidak khas, melainkan melalui pencitraan ultrasonografi. Setelah terdiagnosa pun sindrom ini tidak mudah dalam penanganannya, dibutuhkan kemampuan dan fasilitas khusus.
Di Indonesia sendiri penanganan sindrom ini belum dapat dilakukan, misalpun ada belum banyak rumah sakit dan dokter yang bisa, hal ini dikarenakan banyak faktor. Salah satunya karena kekurangtersediaannya tenaga ahli, ditambah peralatan yang ada tidak menunjang.
Meskipun angka kejadian sindrom ini dapat dikatakan kecil, namun jika diketahui sejak awal dan dapat diatasi sejak dini, akan banyak bayi yang selamat. Karenanya perlu dikembangkan lagi kemampuan dan fasilitas yang dapat mendukung dalam penentuan diagnosa dan penanganan sindrom ini.


REFERENSI

Bajoria, rekha. Section of Obstetrics & Gynaecology, Imperial College School of Medicine, Queen Charlotte’s & Chelsea Hospital, London, UK.
Berg, C et all. First Trimester of Twin to Twin Transfusion Syndrome in Trichorionic Qadruplet Gestation. A Diagnostic Challenge. 2002. Prenatal Division Medical University of Lubeck, Germany. www. Lubeck university .co.id
Brackley KJ, Kilby MD. Twin-twin transfusion syndrome. Hosp Med . Jun 1999;60(6):419-24. Brackley KJ, Kilby MD. Twin-twin sindrom transfusi. Hosp Med. Juni 1999; 60 (6) :419-24.
Cuningham, FD et all, 2005. Williams Obstetri. Edisi 21. EGC, Jakarta.
Denbow ML, Battin MR, Cowan F, et al. Neonatal cranial ultrasonographic findings in preterm twins complicated bysevere fetofetal transfusion syndrome. Am J Obstet Gynecol . Mar 1998;178(3):479-83 .
Duncan KR. Twin-to-twin transfusion: update on management options and outcomes. Curr Opin Obstet Gynecol . Dec 2005;17(6):618-22.
Elliot JP. Amniocentesis for twin-twin transfusion syndrome. Contemp Ob Gyn . 1992;37:30-47. [Best Evidence] Fox C, Kilby MD, Khan KS. Contemporary treatments for twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol . Jun 2005;105(6):1469-77
Huber A, Diehl W, Bregenzer T, Hackelöer BJ, Hecher K. Stage-related outcome in twin-twin transfusion syndrome treated by fetoscopic laser coagulation. Obstet Gynecol . Aug 2006;108(2):333-7
Machin GA, Keith LG. Can twin-to-twin transfusion syndrome be explained, and how is it treated?. Clin Obstet Gynecol . Mar 1998;41(1):104-13
Milner R, Crombleholme TM. Troubles with twins: fetoscopic therapy. Semin Perinatol . Dec 1999;23(6):474-83.
Paek, Betina dan ES, Laurence, 2005. Twin to Twin Transfusion Syndrome. Curent Women’s Reviews. Department of Obstetrics and Gynecology, Division of Maternal Fetal Medicine, University of Washington. USA.
Sueters M, Middeldorp JM, Lopriore E, Oepkes D, Kanhai HH, Vandenbussche FP. Timely diagnosis of twin-to-twin transfusion syndrome in monochorionic twin pregnancies by biweekly sonography combined with patient instruction to report onset of symptoms. Ultrasound Obstet Gynecol . Oct 2006;28(5):659-64.
Taylor MJ, Govender L, Jolly M, Wee L, Fisk NM. Validation of the Quintero staging system for twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol . Dec 2002;100(6):1257-65
Quintero RA, Morales WJ, Allen MH, Bornick PW, Johnson PK, Kruger M. Staging of twin-twin transfusion syndrome. J Perinatol . Dec 1999;19(8 Pt 1):550-5.
Yamamoto M, Ville Y. Recent findings on laser treatment of twin-to-twin transfusion syndrome. Curr Opin Obstet Gynecol . Apr 2006;18(2):87-92
Zach, Terence. 2009. www.emedicine.org. Twin to Twin Transfusion Syndrome. Creighton University.
Sharma S, Gray S,Guzman ER, et al. Detection of twin twin transfusion syndrome by first trimester ultrasonography. J Ultrasound Med, 1995; 14: 635-637
Machin GA, Still K, Lalani T. Correlation of placental vascular anatomy and clinical outcomes in 69 monochorionic placentas. Am J Med Genet, 1996; 61: 229-236
Saunders NJ, Snijders RJM, Nicolaides KH. Twin-twin transfusion syndrome during the second trimester is assosiated with small intertwin hemoglobin differences. Fetal Diagn Ther, 1991; 6: 34-36
Papiernik E, Alexander GR, Paneth N. Racial differences in pregnancy duration and its implication for prenatal care. Med hypotheses, 1990; 33:181-186
Ott W. Intrauterine growth retardation and preterm delivery. Am J Obstet Gynecol, 1993; 168: 1710-1717
Blickstein I. The twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol, 1990; 76:714-722
Fisk NM, Borrel A, Hubinont C, Tannirandorn Y, Nicolini U. Fetofetal transfusion syndrome Do the Neonatal
De Lia JE, Kuhlmann RS, Harstadt TW. Fetoscopic laser ablation of placental vessels in severe previable TTS. Am J Obstet Gynecol, 1995; 172: 1202-1211
Dickinson JE, Evans SF. The progression of disease stage in twin-twin transfusion syndrome. J Matern Fetal Neonatal Med 2004; 16:95-101.
Mari G, Roberts A, Detti L, et al. Perinatal morbidity and mortality rates in severe twin-twin transfusion syndrome: results of the International Amnioreduction Registry. Am J Obstet Gynecol 2001; 185:708-15.
Senat MV, Deprest J, Boulvain M, Paupe A, Winer N, Ville Y. Endoscopic laser surgery versus serial amnioreduction for severe twin-to-twin transfusion syndrome. N Engl J Med 2004; 351:136-44.
Moise KJ, Jr., Dorman K, Lamvu G, et al. A randomized trial of amnioreduction versus septostomy in the treatment of twin-twin transfusion syndrome. Am J Obstet Gynecol 2005; 193:701-7.
Hecher K, Plath H, Bregenzer T, Hansmann M, Hackeloer BJ. Endoscopic laser surgery versus serial amniocenteses in the treatment of severe twin-twin transfusion syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 180:717-24.

Senin, 23 Mei 2011

refrat terapi rehabilitasi vestibuler pada pasien vertigo

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Vertigo adalah sensasi berputar diri / sekitar yang berhubungan dengan gangguan sistem keseimbangan tubuh . Banyak dijumpai di praktek umum, rawat jalan RS umum / khusus neurologi atau di bangsal RS umum / khusus neurologi . Penelitian menyebutkan pada rawat jalan / poliklinik neurologi, vertigo ditemukan terbanyak setelah nyeri, stroke, nyeri kepala dan epilepsi dengan keluhan samar, seperti perasaan mau pingsan, kepala terasa ringan, mata berkunang – kunang dan gangguan keseimbangan . Pada rawat inap di bangsal neurologi terbanyak kedua setelah stroke dengan keluhan vertigo yang berat disertai gangguan keseimbangan yang berat dan rata – rata lama perawatan terbanyak 3 hari.

B. Tujuan Penulisan
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menilai efek terapi rehabilitasi vestibuller pada pasien vertigo, namun apakah memiliki nilai yang signifikan dan dapat mewakili populasi ? serta apakah memiliki nilai aplikatif yang tinggi?








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TERAPI REHABILITASI VESTIBULLAR PADA VERTIGO
Terapi rehabilitasi vestibular (vestibular rehabilitation therapy/VRT) merupakan terapi fisik untuk menyebuhkan vertigo. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi pusing, meningkatkan keseimbangan, dan mencegah seseorang jatuh dengan mengembalikan fungsi sistem vestibular. Pada VRT, pasien melakukan latihan agar otak dapat menyesuaikan dan menggantikan penyebab vertigo. Keberhasilan terapi ini bergantung pada beberapa faktor pasien yang meliputi usia, fungsi kognitif (memori, kemampuan mengikuti pentunjuk), kemampuan kordinasi dan gerak, dan kesehatan pasien secara keseluruhan (termasuk sistem saraf pusat), serta kekuatan fisik. Dalam VRT, pasien yang datang ke dokter, akan menjalani beberapa latihan yang akan melatih keseimbangan dalam tingkat yang lebih tinggi, meliputi gerakan kepala, gerakan mata, dan berjalan.
Latihan-latihan (excercise) rehabilitasi vestibuler sering dimasukkan dalam tatalaksana vertigo. Latihan-latihan ini melatih otak untuk menggunakan isyarat penglihatan (visual) dan proprioseptif alternatif untuk mempertahankan keseimbangan dan gaya berjalan (gait). Pasien perlu mengalami kembali vertigo sehingga otak dapat beradaptasi terhadap batasan baru fungsi vestibuler. Setelah stabilisasi akut pasien dengan vertigo, penggunaan obat-obatan supresan vestibuler harus dikurangi guna membantu adaptasi otak dengan input vestibuler yang baru. Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk membantu pasien menyesuaikan ( mengakomodasi ) pada persoalan keseimbangan begitu juga untuk mengurangi kekambuhan gejala-gejala.
Telah dilakukan penelitian untuk menilai efektifitas terapi rehabilitasi vestibuler pada pasien dengan vertigo, berikut adalah hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan :

Jenis Penelitian Jumlah sampel Tahun penelitian Signifikansi
RCT 143 2006 P < 0,005
Efficacy 200 2004 P < 0,005
Retrospektif 160 2005 P < 0,005




Study Design/ Methodology of Articles Retrieved Level Number Located Author (Year)
Randomized Control Trial 3 • Cohen & Alford,
Level 1 (2004)
• Hansson,
Mansson, &
Hakansson,
(2004)
• Bittar & Venosa,
(2007)
Before and after Level IV 1 • Badaracco, Lanin, Meli,
Angelis, & Tufarelli, (2007)
Cohort Level II 1 • Schubert,Migliaccio,
Clendaniel,
Allak, & Carey,
(2008)
Clinical Guidelines N/A 1 • OT Practice
(2008)







Study 1 Study 2 Study 3 Study 4
Badaracco, C., Bittar, R.S., & Hansson, E.E., Schubert, M.C.,
Labini, F.S., Meli, A., Angelis, E.D., & Tufarelli, D. (2007) Venosa, A.R. (2007). Mansson, N.O., & Hakansson, A. (2004) Migliaccio, A.A., Clendaniel, R.A., Allak, A., & Carey, J.P. (2008)
Intervention investigated The performance of one cycle of 12 daily rehabilitation sessions (2 hours each) consisting of exercises to improve vestibulo-oculomotor reflex Performance of exercises for adaptation of the vestibulo-oculomotor reflex Balance training on uneven surfaces (such as foam) and vestibular rehabilitation in group sessions twice a week for six weeks Gaze and gait stabilization, consisting exercises performed 4 to 5 times per day for a total of 20 to 30 minutes
Comparison intervention None Control group performed placebo exercises None Passive head thrusts rather than active head
movements
Outcomes used Dizziness Handicap Inventory, Activities Specific Rhomberg test Fukuda test, PHSN test, Rhomberg test, Stops walking when talking test, Dizziness Handicap Inventory (valid
Balance Visual analogue SOLEO/SOLEC(sta and reliable),
Confidence Scale, scale (valid and nding on one leg Computerized
Computerized reliable), Fukuda with eyes DVA test, and
Dynamic test, and PHSN open/closed), Single opotype
Posturography, test Walking heel to toe, (letter E)
Computerized Walking in a figure
Dynamic Visual Acutity Test, and Gaze Stabilization eight, Visual Analogue Scale
Test

Findings Patients Vestibular Balance training and Vestibular
significantly exercises are vestibular rehabilitation
improved in all effective in rehabilitation increases angular
tests reducing the improved the ability vestibule-ocular
duration of to stand on one leg reflex during
symptoms and with eyes closed in active head
the need of persons with rotation
medication dizziness aged 50
years and over

Berikut adalah daftar dari latihan-latihan vestibular yang dapat dilakukan pasien dalam kehidupan sehari- hari, selain mudah juga tidak membutuhkan peralatan yang mahal ataupun sulit. Dimana terapi rehabilitasi pasien vertigo mencakup : 1. Latihan sambil duduk atau di ranjang, 2. Latihan sambil berdiri dan 3. Latihan sambil bergerak atau berjalan.
1. Duduk atau di ranjang.
o Gerakan-gerakan mata: gerakan mata-mata pertama-tama secara perlahan-lahan, kemudian secara cepat keatas dan kebawah, sisi ke sisi, dan secara diagonal. Fokus pada jari-jari tangan anda ketika anda menjauhinya dari 1 foot (kaki) sampai 3 feet (kaki) dari muka.
o Gerakan-gerakan kepala: gerakan kepala pertama-tama secara perlahan-lahan, kemudian secara cepat, dengan mata-mata terbuka, membungkuk kedepan dan kebelakang, memutar dari sisi ke sisi, memiringkan dari sisi ke sisi, den bergerak secara diagonal. Ulangi dengan mata-mata tertutup.
2. Berdiri
o Ulangi latihan bagian 1 ketika berdiri.
o Berubah dari posisi duduk ke posisi berdiri, pertama dengan mata-mata yang terbuka, dan kemudian dengan mata-mata yang tertutup.
o Lemparkan bola dari tangan ke tangan diatas ketinggian mata.
o Lemparkan bola dari tangan ke tangan dibawah lutut-lutut.
o Rubah dari duduk ke berdiri, putar pertama ke satu sisi dan kemudian ke sisi lain.
3. Bergerak
o Berjalan menyeberangi ruangan dengan mata-mata yang terbuka, dan kemudian dengan mata-mata yang tertutup.
o Berjalan menaiki dan menuruni kemiringan dengan mata-mata yang terbuka, dan kemudian dengan mata-mata yang tertutup.
o Manaiki dan menuruni tangga-tangga dengan mata-mata yang terbuka, dan kemudian dengan mata-mata yang tertutup.
o Sit up dan berbaring di ranjang.
o Duduk di kursi, kemudian berdiri.
o Mengembalikan keseimbangan ketika didorong pada arah yang spesifik.
o Lempar dan tangkap bola.
o Turut serta pada setiap permainan yang melibatkan membungkuk dan meregang dan mengarahkan, seperti bowling, volleyball, atau shufflebo









BAB III
PENUTUP
Terapi vertigo sebenarnya meliputi terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa, dimana biasanya terapi medikamentosa digunakan saat pasien dalam fase akut, terutama dengan kondisi yang berat. Sedangkan terapi nonmedikamentosa, dalam hal ini terapi rehabilitasi lebih ditujukan untuk fase penyembuhan. Dimana terapi rehabilitasi lebih ditujukan untuk membiasakan dan melatih pasien dengan vertigo, dengan harapan dapat meringankan keluhan saat terjadinya serangan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menilai efektifitas terapi rehabilitasi vestibuler pada pasien vertigo, dapat disimpulkan bahwa terapi rehabilitasi vestibuler memiliki peranan dalam mengurangi beratnya gejala dan angka kekambuhan, serta dapat membiasakan penderita dengan kondisi saat terjadi serangan sehingga pasien dengan vertigo tetap dapat melakukan aktifitas sehari- hari.










DAFTAR PUSTAKA

Cohen, H.S., & Alford, B.R. (2004). Changes in a repetitive head movement task after vestibular rehabilitation. Clinical Rehabilitation, 18, 125-131.

Badaracco, C., Labini, F.S., Meli, A., Angelis, E.D., & Tufarelli, D. (2007). Vestibular rehabilitation outcomes in chronic vertiginous patients through computerized dynamic visual acuity and gaze stabilization. Otology & Neurotology, 28, 809-813.

Bittar, R.S., & Venosa, A.R. (2007). Vestibular rehabilitation exercises in acute vertigo. The Laryngoscope, 117, 1782-1487.

Hansson, E.E., Mansson, N.O., & Hakansson, A. (2004). Effects of specific rehabilitation for dizziness among patient in primary healthcare. A randomized controlled trial. Clinical Rehabilitation, 18, 558-565.

Schubert, M.C., Migliaccio, A.A., Clendaniel, R.A., Allak, A., & Carey, J.P. (2008). Mechanism of dynamic visual acuity recovery with vestibular rehabilitation. Archives of Physical Medicine Rehabilitation, 89, 500-507.

Minggu, 22 Mei 2011

makalah penatalaksanaa dengue syok syndrome

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius di banyak negara tropis dan sub tropis. Kejadian penyakit demam berdarah dengue (DBD) semakin tahun semakin meningkat dengan manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang terberat yaitu mild undifferentiated febrile illness, dengue fever, dengue haemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome atau syok sindrom dengue (SSD) (WHO, 2005).
SSD menurut WHO ( 2007 ) harus memenuhi empat kriteria DBD disertai bukti adanya kegagalan sirkulasi yaitu kegelisahan, kulit yang dingin lembab, nadi yang cepat dan lemah, juga hipotensi (tekanan darah sistolik < 80 mmHg jika berusia < 5 tahun atau < 90 mmHg jika berusia > 5 tahun).
Angka mortalitas rata- rata di rumah sakit pada pasien DSS masih sangat tinggi. RS Dr. Kariadi (RSDK) Semarang menunjukkan angka kematian 26% pada tahun 1996 dan menurun menjadi 12% pada tahun 2002 ( Setiati, 2004 ).
Pasien yang mengalami SSD akan menghadapi risiko kematian apabila tidak cepat ditangani dan mendapatkan pengobatan. Sampai saat ini SSD masih merupakan penyebab utama kematian pada penderita DBD dan 30 % dari kasus DBD berkembang menjadi SSD (WHO, 2005).
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
SSD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang disertai renjatan (Behrman, 2004).
Diagnosis SSD menurut WHO tahun 2007 harus memenuhi minimal dua dari empat kriteria klinis DBD, yaitu :
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan salah satu di bawah :
1) uji Rumpel Leed / RL / tourniquet positif,
2) petekiae, ekimosis, purpura,
3) perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,
4) hematemesis dan atau melena.
c. Trombositopenia (100.000/l atau kurang).
d. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih, menurut standar umur dan jenis kelamin, atau penurunan hematokrit 20% sesudah terapi cairan,
Disertai bukti adanya kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan kegelisahan, kulit yang dingin lembab, nadi yang cepat dan lemah dan hipotensi (tekanan darah sistolik < 80 mmHg jika berusia < 5 tahun atau < 90 mmHg jika berusia > 5 tahun).

EPIDEMIOLOGI
DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Asia dan Pasifik khususnya Indonesia. Angka kematian SSD di rumah sakit masih tinggi. Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM antara 1 Januari 2003 sampai dengan 30 Juni 2004 didapatkan jumlah kasus DBD yang dirawat sebanyak 263 pasien. Jumlah kasus SSD pada periode tersebut sebesar 31,7% DBD derajat III, diikuti DBD derajat II sebesar 30,7% dan DBD ensefalopati pada DBD derajat IV sebesar 1% ( M T Puspandjono, 2007 ).
Sejak tahun 2004 kasus DBD terus meningkat dan meluas sampai lebih dari 350 kabupaten/kota. Peta insiden DBD di Indonesia pada tahun 2009 memperlihatkan seluruh wilayah jawa insidensinya lebih dari 3,5 per 10.000 penduduk dan di Jawa Tengah sendiri sebesar 5,6/ 10.000 penduduk. Meski sejak tahun 2007 angka kematian sudah berada di bawah 2%, namun yang dijadikan indikator nasional adalah masih diatas 1%. ( Mardiatmo, 2010 ).
PATOFISIOLOGI
Imunopatogenesis DBD dan SSD dalam Soegeng Soegijanto ( 2004 ) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent enhancement ( ADE ).
1. Teori Infeksi Sekunder (secondary heterologous infection)
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan sebagai seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibodi yang dapat menetralisir antigen yang sama (homologous).
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini disebabkan karena pada infeksi selanjutnya, antibodi heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan virus dengue baru yang berbeda serotipe, namun tidak dapat dinetralisir. Virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibody maka partikel virus DEN ( dengue ) dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga “Platelet Activating Faktor” (PAF).
Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag. TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen antibodi kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Hal tersebut akan mengakibatkan syok.
Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.

Gambar 1 . Teori infeksi sekunder
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Bahan- bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang selanjutnya mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
2. Teori ADE (antibody dependent enhancement ( ADE ).
Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan SSD

Gambar 2. Proses Aktifasi Limfosit
Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum pasien DD, DBD dan SSD ternyata didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase akut dari SSD. Dikatakan pula bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan SSD, oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin tersebut sejak awal pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan penyakit.

Gambar 3. Teori ADE
3. Teori virulensi virus
Disamping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang patogenesis dari DBD, diantaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.
4. Teori antigen - antibodi
Teori antigen-antibodi, dimana pada teori ini berdasarkan kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4 dan C5.
Disamping itu 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus Dengue, selanjutnya kompleks imun tersebut dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain.
5. Teori mediator
Menurut teori mediator, makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dll. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Gambar 4. Teori Mediator
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya berselang beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajad kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus tersebut melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel mulai dari terjadinya stres dari sel sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal (local tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.
Sistem HLA/MHC pada umumnya berperan dalam pengawasan dan regulasi respons imun. Peran dalam regulasi respons imun berupa proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan kelas II (lokus D/DR,DQ,DP). Penelitian membuktikan bahwa patogenesis DBD/SSD umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/SSD.
Pada penelitian invitro dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83. Anehnya DC yang terinfeksi virus dengue ini sanggup memproduksi TNF- dan IFN-, namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T.Jadi IL-10 sebagai sitokin proinflamasi tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit Th1, yang dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap rangsangan mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase konvalesen respon proliferatif kembali normal.
Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF-, IL-10 dan reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/SSD. Peningkatan TNF- berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada infeksi virus Dengue fase akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF- berperan penting dalam severity dan patogenesis DBD/SSD, begitu juga meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.
Hipotesis tentang patogenesis DBD/SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh IFN-/TNF- dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD / SSD.
Infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut.
Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8. Secara in vitro melalui kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappaB.
Penelitian terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan bahwa pada anak dengan SSD, level IL-6 dan soluble intercellular adhesion molecule-1 rendah. Hal ini merefleksikan adanya kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya penyakit.

MANIFESTASI KLINIS
Kejadian syok pada penderita demam berdarah dengue dapat terjadi karena kebocoran plasma dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan ikat disekitarnya sehingga ditemukan manifestasi klinis berupa efusi pleura dan asites. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori reaksi antigen antibodi yang dapat mengeluarkan bahan anafilatoksin atau bahan serupa histamin yang berpengaruh terhadap peningkatan permeabilitas dinding vaskuler dan terjadi kebocoran plasma diperkuat dengan dianutnya hipotesa sekunder heterologos anamnestik reaksi ( Soegeng sugianto, 2004 ).
Pada penderita DHF disertai renjatan, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun yaitu antara hari ke -3 dan ke -7 sakit. Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di sekitar mulut dan nadi menjadi cepat dan lembut. Penderita kelihatan lesu, gelisah dan secara cepat masuk ke dalam fase kritis renjatan. Penderita sering kali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum renjatan muncul ( R Hasan dan H Alatas, 1997).
Beberapa manifestasi klinis yang dapat terjadi pada pasien dengan SSD menurut Sumarno S ( 2002 ) diantaranya adalah :
a. Demam
DHF didahului oleh demam mendadak di sertai gejala klinis yang tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus lama demam sebelum dirawat berkisar 2-7 hari. Alasan mengapa orang tua membawa anaknya yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan presyok atau oleh karena demam dan manifestasi perdarahan di kulit menjadi nyata.
b. Hepatomegali
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Nyeri tekan seringkali di jumpai tanpa disertai ikterus. Dengan kata lain pembesaran hati pada penyakit DHF derajat IV tidak selalu lebih besar pada penderita DHF derajat II, sekalipun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.
c. Manifestasi perdarahan
Manifestasi perdarahan bervariasi yang paling ringan berupa uji torniquet maupun perdarahan spontan berupa petekia dengan lokasi biasanya di seluruh tubuh, tersaring di anggota gerak bawah, muka, aksila, epistaksis, perdarahan gusi, dan melena.
d. Syok, dengan bentuk klinis sebagai berikut :
1) Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru.
2) Anak yang semula rewel, cengeng, gelisah labat laun kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma
3) Perubahan nadi baik frekwensi maupun amplitudonya
4) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
5) Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang
Oliguria sampai anuria

PENATALAKSANAAN
SSD termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat dan tepat. Terapi oksigen harus diberikan pada semua pasien syok, dan biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi. ( R Hasan dan H Alatas, 1997).
Penggantian awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20 ml/kgBB dengan tetesan secepatnya ( diberikan bolus selama 10 menit ), jika syok belum teratasi setelah dua kali resusitasi cairan dapat digantikan dengan koloid 10- 20 mg/kgBB selama 10 menit (maksimal untuk anak 30ml/kgBB/ hari). Setelah terjadi perbaikan keadaan klinis segera menukar kembali dengan cairan kristaloid, tetesan tersebut dikurangi bertahap dengan tetesan 10ml/kgBB/jam dan dievaluasi selama 4- 6jam, dan jika membaik diturunkan 7ml/kgBB/jam selanjutnya 5ml/kgBB/jam dan terakhir 3ml/kgBB/jam ( sesuai dengan berat badan).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam. Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan central venous pressure (CVP) dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5% dekstrose ½NS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan tanda penyembuhan. Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berlebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema paru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak. Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.
INDIKASI TRANSFUSI
Pemberian tranfusi darah dilakukan saat terjadi perdarahan yang nyata seperti hematemesis dan melena. Hemoglobin perlu dipertahankan dalam batas cukup untuk mencapai transport oksigen ke jaringan, Hb dipertahankan sekitar 10g/ dl.
Fresh Frozen Plasma ( 15 ml/kg BB) dan kriopresipitat diberikan apabila terdapat pemanjangan bermakna dari APTT( Anti Platelet Trombine Time
) dan PT ( Protrombine Time ) disertai manifestasi perdarahan.
Konsentrat trombosit diberikan bila terdapat trombositopeni berat ( trombosit < 30.000/ mm3) dengan manifestasi PIM ( pembekuan intravaskuler menyeluruh ) dan perdarahan. Dan yang perlu diketahui bahwa dari consensus pada Workshop manajemen DBD disebutkan bahwa tranfusi trombosit profilaksis tidak direkomendasikan berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam lamanya trombositopenia, kenaikan jumlah trombosit dan episode perdarahan pada kelompok yang mendapat tranfusi trombosit. Tranfusi trombosit hanya diberikan bila terdapat PIM dengan bukti adanya perdarahan dan trombosit < 20.000/ uL. ALGORITME PENGELOLAAN SINDROM SYOK DENGUE • Koloid HES BM 100-300kD dan atau RL 10-20ml/kgBB (5 menit) 3x • Oksigenasi adekuat Perbaikan (+) Perbaikan (-) • Perfusi jaringan • Hb, Ht, trombosit syok berkepanjangan • PEI PICU RL 60-100 ml/kgBB (12jam) (5-8 ml/kgBB/jam) TVS RL diturunkan perlahan TVS< 8mmHg TVS≥8mmHg kebocoran vaskuler>>
s/d 24- 48 jam perdarahan massif a. PEI
Cairan Pemeliharaan (PIM??) b. Ht
c.protein
d. albumin
Asidosis metabolik
Hemodinamik stabil Gangguan elektrolit
AT III
Komponen darah
RC ventilator mekanik
FFP koloid hipertonik
Stop i.v.f.d TC

Keterangan:
TVS : Tekanan Vena Sentral
i.v.f.d ; Intravenous Fluid Drip
PEI : Pleural Efusion Index
Gambar 5. Skema Penatalaksanaan DSS
DISKUSI
Beberapa penelitian mengenai penggunaan kortikosteroid pada pasien anak dengan Demam Dengue telah banyak dilakukan Pemberian kortikosteroid pada pasien Demam Dengue tidak membantu menurunkan angka kejadian SSD, sehingga tidak dianjurkan penggunaan kortikosteroid pada anak ( WHO, 2010 ).

Transfusi FFP menurut Raharjo E ( tahun 2003 ) digunakan untuk:
• Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi. (Rekomendasi C)
• Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam nyawa. (Rekomendasi C)
• Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati. (Rekomendasi C)
Penghentian tranfusi trombosit dilakukan jika angka trombosit sudah mencapai > 50.000/ uL atau jika sudah tidak didapati perdarahan yang baru. Sedangkan penghentian tranfusi FFP dilakukan jika tidak didapati perdarahan baru lagi atau APTT & PT kembali normal.











BAB III
KESIMPULAN

Sindrom syok dengue ( SSD ) merupakan manifestasi klinis infeksi virus dengue yang terberat. Untuk dapat mengatasi kondisi terburuk, penting bagi dokter untuk mampu menegakkan diagnosis secara dini, sehingga dapat memberikan pengobatan yang tepat, sehingga angka harapan hidup / prognosisnya menjadi baik. Keterlambatan penanganan pasien anak dengan SSD menyebabkan kematian, dan angka kematian pada anak disebabkan kasus tersebut masih cukup tinggi. Karenanya diharapkan dokter memiliki pengetahuan dan ilmu yang memadai dalam penanganan pasien tersebut, dengan harapan dapat menurunkan angka kematian anak karena SSD.




























DAFTAR PUSTAKA

Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. 2004. Nelson textbook of pediatrics 17th ed. Saunders. Philadelphia.
Hasan R, Alatas H, Ilmu Kesehatan Anak, Buku Cetakan Ke – 7, Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI Jakarta 1997 : 607 –619.
Ho LJ, Wang JJ, Shaio MF, Kao CL, Chang DM, Han SW, Lai JH, 2001. Infection of Human Dendritic Cells by Dengue Virus causes cell maturation and cytokine production. The Journal of Immunology, 166 : 1499-1506.
Puspanjono, MT dkk. Comparison of serial blood lactate level between dengue shock syndrome and dengue hemorrhagic fever ( evaluation of prognostic value) . Paediatrica Indonesiana, Vol 47, No 4, Juli 2007.
Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003
Soegijanto S , 2004 . Demam berdarah dengue. Airlangga University Press Surabaya. Hal 99.
Sumarno S, Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis, Edisi Pertama, Jakarta 2002 : 186 – 190.
World Health Organization (2005). Dengue diagnostics : proceedings of an international workshop. UNICEF/UNDP/World Bank/WHO Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases (TDR). WHO/TDR 4-6 October 2004.Geneva, Switzerland.
World Health Organization, 2005. Dengue, Dengue Hemorrhagic Fever, and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. World Health Organization.
WHO. Dengue/DHF Reported Cases of DF/DHF in Selected Countries in SEA Region (1985 – 2005). 2007, (online), (http://www.who.org, september 2010).
WHO.Clinical Diagnosis of Dengue dalam: http:// www.who.int/entity/csr/resources/publications/dengue/1-11.pdf